Tanggapan Dosen Ilmu Politik Unpad Wacana Prabowo Soal Kepala Daerah Dipilih Dprd: Potensi Transaksi Politik Uang

Sedang Trending 3 minggu yang lalu

Universodelibros.com, Jakarta - Dosen Ilmu Politik Univesitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan menanggapi soal wacana Presiden Prabowo Subianto mengenai pemilihan kepala wilayah dipilih DPRD. Ia menyebut pemerintah perlu melakukan pembenahan sistem dibanding mengubah sistem pilkada langsung menjadi tidak langsung.

“Bagaimana soal politik uang, gimana mengantisipasinya, sebetulnya banyak perihal nan bisa dilakukan,” kata Firman kepada Tempo.co melalui saluran telepon, 21 Desember 2024.

Baca buletin dengan sedikit iklan, klik di sini

Menyoal argumen biaya atas wacana kepala wilayah dipilih DPRD ini, Firman menyebut dua hal, dia mengatakan bahwa kerakyatan pasti memerlukan biaya. Firman juga mengatakan nan menjadi keluhan biaya kerakyatan adalah adanya transaksi politik.

“Lalu nan kedua soal biaya politik itu hati-hati, jangan-jangan nan jadi keluhan itu kan transaksi politik ya. Jadi misalnya ada politik duit dari kandidat terhadap pemilih,” kata Firman.

Firman mengatakan pilkada tidak langsung juga tetap berpotensi adanya transaksi politik tersebut. Jika dalam pilkada langsung terjadi transaksi politik antara kandidat dengan pemilih, maka pada pilkada oleh DPRD tidak menutup kemungkinan adanya transaksi antara kandidat dengan orang-orang nan memilihnya.

Jika tidak mau ada biaya, kata Firman, maka dilakukan model penunjukkan langsung oleh presiden saja. Masalahnya, Indonesia bakal kembali kepada pengaturan masa lampau dalam sistem pemerintahan nan otoritarian.

“Jadi kalo tidak mau ada biaya tidak usah ada pemilu sekalian, modelnya ya model ditunjuk saja. Kita sudah di alam kerakyatan nan kita tidak mau kembali ke era nan otoritarian,” kata dia.

Firman juga menuturkan kekhawatiran kejuaraan pilkada nan tidak setara jika dilakukan oleh DPRD. Menurutnya, jumlah bangku di DPRD berpotensi mempengaruhi kejuaraan politik tersebut.

“Jadi elit elit dari partai besar nan kemudian punya potensi untuk menjadi kepala daerah” tutur Firman.

Selain itu, Firman menyebut pilkada nan dilakukan secara tidak langsung berfaedah tidak ada partisipasi publik. Berbeda dengan model pilkada nan dijalankan saat ini, dengan pola pemilihan langsung, maka rakyat bisa berperan-serta secara langsung.

“Misalnya tidak langsung, contoh dipilih oleh DPRD, berfaedah kan tidak ada partisipasi publik di situ,” kata pengajar Unpad itu.

Ia juga menyinggung soal integritas personil DPRD sebagai representasi bunyi rakyat. Terlebih, selama ini personil partai nan menduduki bangku DPRD lebih mementingkan kepentingan partainya dibanding kepentingan publik.

“Yang jadi masalah kan, pertanyaannya apakah kemudian kelak di personil dpr itu merepresentasikan publik? Nah itu nan jadi problem. Selama ini memang kan nan terindikasi bahwa personil anggota partai lebih mementingkan kepentingan kelompok, kepentingan partainya, kepentingan elit, dibandingkan kepentingan publik,” ujarnya.

Firman menyebut jika Indonesia mau menerapkan sistem pemilihan tidak langsung, maka kudu dilakukan pertimbangan secara besar-besaran. Misalnya pertimbangan mendalam mengenai politik duit serta keterlibatan partai dalam mengkader kandidat-kandidat nan berkualitas.

Menurutnya, selain pembenahan sistem, nan lebih diperlukan saat ini adalah partisipasi publik kudu diperhatikan tak hanya dari segi jumlah, tetapi dari segi kualitas partisipasinya. Oleh lantaran itu sistem pemilihan dapat tetap dilakukan secara langsung.

“Soal gimana partisipasi publik itu semakin baik bukan hanya dari segi jumlah tingkat partisipasinya tapi juga kualitas partisipasinya,” katanya.