INFO NASIONAL – Dua tahun lagi, tepat pada 2027, Jakarta bakal berumur 500 tahun. Di tengah perjalanan perkembangan kota dunia ini di beragam zaman, generasi Z alias kerap disebut gen Z, bertumbuh ketika era digital memungkinkan mereka menyerap info dengan sigap dan tanpa batas. Berita tentang proyek MRT, revitalisasi trotoar, hingga transformasi area kota tua menjadi destinasi modern datang hanya dalam genggaman.
Jakarta nan gencar berbenah kian layak menyandang status kota global. Namun, apakah kemajuan tersebut cukup untuk menjawab tantangan urban nan kompleks? Sebagai generasi nan kritis dan sadar bakal rumor keberlanjutan, mereka mempunyai pandangan beragam tentang wajah Jakarta di usia menjelang lima abad.
Rani, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, menilai perkembangan teknologi saat ini sudah semakin baik. Contoh, penggunaan sistem tap kartu untuk menggunakan transportasi umum, teknologi pemindai untuk mencari info tentang sebuah tempat publik, dan lainnya. “Digitalisasi sudah banyak terjadi, apalagi banyak juga moda transportasi nan semakin mudah diakses oleh banyak orang,” ujarnya kepada Info Tempo, Sabtu, 21 Desember 2024.
Baca buletin dengan sedikit iklan, klik di sini
Apresiasi serupa diungkapkan oleh mahasiswa Universitas Nasional, Qolbiyati Salma Safitri. Sebagai penduduk nan tinggal di area Fatmawati, Jakarta Selatan, dia sangat terbantu dengan kehadiran transportasi umum modern, MRT. “Rumah saya dekat banget sama Stasiun MRT Fatmawati, jadi mudah jika mau ke mana-mana,” ucap Obi—panggilan akrabnya.
Untuk mencapai kampusnya, selain menggunakan MRT, Obi kudu melanjutkan dengan JakLingko. “Makin mempermudah, lantaran gratis,” kata dia sembari terbahak senang. “Intinya, cinta banget sama Jakarta. Fasilitas-fasilitasnya semakin banyak.”
Kendati begitu, dia meminta Pemerintah Provinsi Jakarta tetap konsisten menjalankan penertiban agar Jakarta tidak kembali semrawut seperti dulu. “Terkadang tetap sering lihat banyak akomodasi nan disalahgunakan, misalnya trotoar nan semestinya untuk pejalan kaki rupanya tetap dijadikan tempat berdagang,” tutur Obi.
Rangga, Mahasiswa Universitas Mercu Buana, beranggapan penyalahgunaan akomodasi umum tetap terjadi di wilayah pinggiran Jakarta, kemungkinan disebabkan tetap minimnya pengawasan dan ketegasan pemangku kebijakan. “Kalau di pusat sih sudah oke, hanya jika di titik-titik lain terutama di pinggiran belum sebaik di pusat,” ujarnya.
Kesimpulan Rangga, Jakarta sebagai kota dunia sudah cukup bagus. “Kalau dibanding kota-kota lain di Indonesia sudah paling keren, tapi jika dibandingkan dengan kota-kota dunia di negara lain belum sekeren itu, sih.”
Rekan satu kampusnya, Diki Alamsyah, menyampaikan pendapat serupa. “Iya, Jakarta jika dibanding kota-kota di Indonesia memang paling maju, tapi jika bersanding secara global, menurut gue sih tetap kurang,” ucapnya.
Febby, pembimbing privat nan Info Tempo jumpai ketika berjamu ke Taman Ismail Marzuki, menilai Jakarta serupa dengan kota-kota dunia lainnya, tidak pernah tidur dan selalu sibuk. Banyak orang tinggal di pinggiran kota dan datang ke Jakarta untuk bekerja. “Jadi, sebenarnya ramah tapi lantaran tujuannya untuk kerja jadi terlihat sangat sibuk,” kata pembimbing muda ini.
Salah satu solusinya, Febby menambahkan, adalah kehadiran ruang terbuka hijau. “Saya mau lihat lebih banyak taman, agar ada tempat bagi penduduk Jakarta bisa istirahat, tarik napas,” kata dia. (*)