Standardisasi Kemasan Rokok Mampu Turunkan Prevalensi Perokok Secara Signifikan

Sedang Trending 1 minggu yang lalu
Standardisasi Kemasan Rokok Mampu Turunkan Prevalensi Perokok Secara Signifikan (MI/DESPIAN)

PREVALENSI perokok Indonesia tidak mengalami perubahan nan signifikan. Pada kenyataannya jumlah perokok absolut di Indonesia meningkat nyaris 10 juta orang selama 10 tahun terakhir. Hal ini juga dibarengi dengan konsumsi rokok elektrik nan meningkat 10 kali lipat dari 0,3% menjadi 3,0%. Selain itu, prevalensi perokok anak juga meningkat dari 13% pada 2015 menjadi 23% di 2023.

National Professional Officer – Tobacco Free Initiative, WHO Indonesia, Ridhwan Fauzi mengatakan, meskipun di Indonesia sudah menerapkan peringatan bergambar sebanyak 40% sejak 2014, kenyataannya perihal tersebut belum memberikan pengaruh maksimal dan tetap ada 20% orang di Indonesia nan tidak memperhatikan peringatan bergambar ini. 

“Orang nan berpikir untuk berakhir merokok setelah memandang peringatan ini juga tetap sangat mini alias hanya 59,4%. Jadi tetap kurang besar dan orang-orang tetap terdistraksi oleh bungkusan rokok. Makanya krusial ada bungkusan terstandar,” ungkapnya dalam Diskusi Publik TCSC-IAKMI berjudul Perlunya Penerapan Aturan Standardisasi Kemasan pada Bungkus Rokok dalam Upaya Menurunkan Prevalensi Perokok di Indonesia di Jakarta, Kamis (9/1). 

Lebih lanjut, Ridhwan menegaskan bahwa bungkusan rokok terstandar bakal mengharuskan larangan logo industri rokok, warna identik, brand image dan aspek promosi lainnya nan dihilangkan. 

Kebijakan ini telah bertindak di 25 negara bumi seperti Australia, Turki, Arab Saudi, Thailand, Singapura, Laos, Myanmar, dan lainnya. “Tujuan bungkusan terstandar ini untuk mengurangi daya tarik terhadap produk tembakau. Desain rokok itu sengaja menarik orang untuk menggunakannya. Karena jika kita lihat bungkusan di Indonesia itu atasnya peringatan tapi bawahnya promosi. Dengan tetap diizinkannya industri rokok mengenakan bungkusan seperti sekarang berpotensi juga menyesatkan publik,” tegas Ridhwan. 

Di tempat nan sama, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menambahkan bahwa sejatinya kegunaan iklan dalam bungkusan adalah corak info kepada konsumen. Namun, perihal tersebut hanya bertindak dalam konteks produk normal. 

“Tapi jika produknya rokok kan tidak normal alias dikenai cukai sehingga kegunaan iklan jadi kontraproduktif. Sehingga sebisa mungkin dalam konteks perlindungan konsumen rokok idealnya dibuat tidak menarik. Bahkan di beberapa negara, iklan dan produksi rokok sudah dilarang,” ujar Tulus. 

Maka dari itu, dalam konteks perlindungan konsumen, patokan bungkusan terstandar itu bakal memberikan pengaruh sangat baik. 

“Kami pernah melakukan survei juga bahwa peringatan kesehatan ini tetap tertutup pita cukai sehingga tidak terlalu memberikan pengaruh kepada masyarakat. Selama ini dengan peringatan kesehatan nan tertutup pita cukai ini menjadi tidak tersampaikan pesannya.

Saat ini jika merujuk negara di bumi juga sudah ada 25 negara nan menetapkan rokok polos. Itu artinya memang mereka menyadari bahwa izin untuk membikin rokok tanpa gambar dan merek dapat membikin masyarakat tidak terprovokasi mengonsumsi rokok,” tegasnya. 

Ketua Udayana Center for NCDs, Tobacco Control and Lung Health (CENTRAL), dr. Putu Ayu Swandewi Astuti menjelaskan bahwa selama ini bungkusan rokok memberikan warna dan gambaran berbeda-beda nan memberikan pesan kepada pembeli dan membangun identitas. Industri ini dikatakan bisa memasarkan produk rawan namun dikemas dengan cantik. Seakan-akan apa nan mereka jual tidak memberikan akibat negatif pada kesehatan masyarakat.

“Secara garis besar bungkusan rokok standar bakal menurunkan daya tarik pembeli dan mendorong kemauan berakhir merokok. Hal ini juga bakal membikin ancaman dari produk tembakau lebih efektif dan pesannya bisa tersampaikan pada masyarakat. Dampak lainnya mengurangi potensi miss leading dalam bungkusan nan tersampaikan kepada masyarakat. Dampak lebih jauh lagi, bakal ada penurunan perokok pemula. Contoh di Australia setelah penerapan bungkusan polos ini hanya dalam 3 tahun terjadi penurunan prevalensi perokok sebanyak 100 ribu orang,” urai Ayu. 

Sementara itu, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Direktorat P2PTM
Kementerian Kesehatan, dr. Benget Saragih mengatakan bahwa terdapat 290 ribu orang meninggal setiap tahunnya akibat rokok. Hal inilah nan membikin Kemenkes mendorong terjadinya perubahan regulasi. 

“Faktor akibat merokok menjadi kematian terbesar kedua di Indonesia. Hasil survei BPS (Badan Pusat Statistik) pada 2021 memperlihatkan pengeluaran rumah tangga untuk rokok 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pembelian protein. 71% perokok remaja membeli rokok satuan dan 60% tidak dicegah saat membeli rokok,” jelas Benget Saragih. 

Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 sebagai patokan turunan Undang-Undang 17/2023 tentang Kesehatan mempunyai tujuan untuk menyasar penurunan prevalensi perokok anak dan remaja lantaran mereka belum bisa membikin keputusan independen bagi diri mereka sendiri. 

“Kami juga sudah selesai membahas Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan di level internal. Akan diusahakan masuk rapat pengharmonisan dengan kementerian dan lembaga lainnya. Jadi ada standardisasi kemasan, baik bentuk, warna, tulisan, dan gambar peringatan kesehatan,” tuturnya. 

Menurutnya selama ini Kemenkes juga telah banyak mendapatkan penolakan dan banyak info keliru mengenai dengan perihal ini. Namun demikian, Kemenkes percaya dan percaya bahwa patokan ini bakal sukses dan negara kudu datang melindungi masyarakat. 

“Jadi kita enggak boleh kalah tapi menyiapkan justifikasi kenapa kita kudu melakukan kebijakan ini,” tegasnya. 

Ketua TCSC-IAKMI dr. Sumarjati Arjoso menekankan bahwa aktivitas ini diharapkan dapat memperjelas tujuan dari standardisasi bungkusan rokok dan bisa meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat bakal upaya mengurangi prevalensi perokok terutama untuk anak. (S-1)