RIBUAN umat Katolik itu larut dalam hentakan ritmik tarian Sole. Mereka pun larut dalam lantunan syair Natal Oha dalam bahasa budaya setempat. Tidak sekedar menari, Sole Oha Natal menjadi tradisi penyampaian pesan Natal nan lebih diterima. Natalpun menggema dalam bahasa setempat melalui mulut pemakeng (pelantun syair adat).
Umat Katolik dari Tiga Stasi Waibaki (Waiwaru, Baopukang dan Kimakamak) ini sedang merayakan suka cita Natal dalam tarian Sole Oha. Tarian nan berisi syair pantun dan aktivitas menghentakkan kaki itu dimainkan setelah kurban misa Natal di dalam Gereja St Wilhelmus, Desa Watodiri, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Inkulturasi tradisi budaya dan tradisi keagamaan tersebut memengaruhi tradisi seremoni hari raya Natal di Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Sebagaimana disaksikan Media Indonesia, Natal nan dipercayai umat Kristiani sebagai saat kelahiran Yesus Kristus sang Penebus, dirayakan penuh suka cita di Stasi waibaki (Waiwaru, Baopukang dan Kimakamak). Tradisi Sole Oha pun meramaikan hari raya Natal itu.
Rabu, 25 Desember 2024, pagi, ribuan Umat Katolik 3 Stasi di Paroki Maria Bintang Laut Waipukang nan terdiri dari stasi Waiwaru, Stasi Baopukang dan Stasi Kimakamak merayakan kurban misa Natal secara terpusat.
Bagi umat Katolik setempat, seremoni Natal adalah sebuah sukacita nan wajib dirayakan dalam kepercayaan ketaatan bakal keselamatan sebagaimana diajarkan oleh Yesus Kristus.
Kali ini umat dari 3 stasi memusatkan seremoni Natal di Gereja St. Wilhelmus Kimakamak. Misa dipimpin oleh RD. Eman Kumanireng. Pemusatan seremoni Natal sendiri merupakan langkah menyiasati kekurangan Imam nan tidak dapat melayani umat masing-masing di tiga stasi itu sekaligus pada hari raya Natal.
Meski kekurangan imam, pemusatan Perayaan Natal lebih sebagai upaya Gereja memperkuat persatuan umat.
"Watodiri ini sebagai Betlehem. Kesederhanaan Natal nan ditampilkan Yesus sendiri wajib diikuti umat Kristiani untuk hidup sederhana. Sebab, setiap perihal mini selalu berkesan baik. Merayakan Natal di desa terpencil dirayakan dengan sederhana jauh lebih berkesan. Sama seperti Yesus nan dilahirkan di kandang ternak di Betlehem namun dari kesederhanaan itulah Ia dilahirkan untuk meyelamatkan seluruh makhluk di Bumi," ujar RD Eman Kumanireng dalam kotbah Natalnya. Usai kurban misa Natal di dalam gerja, umat setempat menari Sole Oha nan dimainkan di laman Gereja.
Menariknya, Seluruh pantun dan syair nan dibawakan pada saat itupun berisi pesan Natal dalam bahasa budaya setempat, sembari umat menghentakkan kaki dalam irama Oha nan ritmik.
Robertus Sayang Ama, Kepala desa Watodiri kepada Media Indonesia mengatakan, Untuk tiga kampung ini, Tarian Sole Oha dilakukan sebagai corak ungkapan rasa syukur dan penghormatan kepada bentuk tertinggi alias Sang Pencipta Alam Semesta nan dikenal dengan julukan Ama Lera Wulan Tana Ekan (Tuhan, Langit, dan Bumi serta Leluhur) sebagai pemberi kehidupan.
Ia menyebut, Sole oha juga simbol sukacita dan persatuan. Tarian unik Ile ape dimainkan secara berkelompok merujuk pada mobilitas hentakan kaki mengikuti irama lantunan pantun/sastra adat.
"Sole Oha adalah kesenian wilayah lokal nan ada di kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur. Sebagai ekspresi eksistensi masyarakat adat, Sole Oha berbentuk sesuai dengan corak dasar keberadaan masyarakat adat. Unsur-unsur kebudayaan seperti Sole Oha mengandung nilai-nilai spiritual, sosial nan perlu ditumbuh-kembangkan dalam kehidupan masyarakat adat. Kesenian Sole Oha dengan kondisinya hanya didukung sejumlah mini orang sebagai pewarisnya, tanpa tradisi tertulis, dinyanyikan alias dilagukan secara lisan," ungkap Sayang Ama.
Kades Watodiri itu menyebut, Sole oha juga simbol sukacita dan persatuan. Tarian unik Ile ape dimainkan secara berkelompok merujuk pada mobilitas hentakan kaki mengikuti irama lantunan pantun/sastra adat.
Sole itu Pantun, Oha Itu Gerak Ritmik
Sandro Wangak, wartawan nan konsen terhadap kebudayaan dan juga Ketua Komite Permainan Rakyat dan Olahraga Tradisional Indonesia (KPPTI) Provinsi NTT menjelaskan, Sole Oha merupakan warisan leluhur sejak dulu kala.
"Secara harfiah sole adalah pantun/sastra/syair budaya sementara Oha adalah mobilitas nan bertumpuh pada hentakan kaki.
Gerakan hentakan kaki simbol menambah kekuatan dari bumi (tanah) sebagai bentuk ibu. Sementara lantunan syair budaya sebagai makna pujaan terhadap leluhur alias Tuhan lera wulan, meski secara kontekstual syairnya lebih menekankan pada kondisi kekinian. Ada angan dalam lantunan sole juga ada refleksi tentang hubungan keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan manusia.
Sole Oha adalah seni tarian kolosal nan dimainkan secara berkelompok memegang tangan antara laki laki dan wanita sebagai lambang kesetaraan. Simbol penyatuan. Simbol perlindungan. Dan juga dapat dimaknai sebagai simbol rasa cinta kasih," ujar Sandro Wangak.
Ia menyebut, tradisi sole oha usai seremoni misa bukan saja dilakukan saat natal tetapi juga saat seremoni Paska bahkan idul fitri dan idul adha, andaikan dilaksanakan secara terpusat di Ile Ape.
Dikatakan, Sole Oha dalam daftar arsip kebudayaan indoneisa dikategorikan sebagai Seni Tari dan Olaraga Tradisional, juga pengetahuan tradisional.
Inkulturasi alias perpaduan tradisi budaya lokal dengan ragam aliran keagamaan memudahkan masuknya mengerti baru lebih, termasuk aliran Kristiani tentang Hari Natal. Tradisi Sole Oha Natalpun menjadi bukti inkulturasi adalah penghormatan Agama terhadap budaya lokal. (N-2).