Respons Pan, Golkar, Dan Nasdem Atas Sikap Pdip Soal Kebijakan Ppn 12 Persen

Sedang Trending 3 minggu yang lalu

WAKIL Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay mempertanyakan sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) soal pemberlakuan PPN 12 persen. Dia menilai PDIP tidak konsisten dengan awal mula kebijakan itu digodok di parlemen.

Ketua Komisi VII DPR RI itu mengatakan PDIP adalah partai nan dari awal mendukung PPN naik menjadi 12 persen, tetapi justru meminta dikaji ulang saat kebijakan tersebut bakal diimplementasikan.

“Berpolitik itu mesti konsisten. Kalau dulu mendukung, ya sekarang mestinya juga mendukung. Kalau ada nan dinilai perlu diperbaiki, silakan ajak para pihak untuk mendiskusikannya. Cari solusi terbaik untuk kepentingan rakyat,” kata Saleh dalam keterangan diterima di Jakarta pada Selasa, 24 Desember 2024, seperti dikutip dari Antara.

Saleh menyebut PDIP terkesan mencari simpati dan gambaran positif dari masyarakat sehingga menyampaikan narasi kritik dan penolakan. Dia juga mengatakan PDIP seperti tidak mau terlibat dalam kenaikan PPN tersebut.

“Padahal, kebijakan ini dulu didukung. Bahkan, sudah diatur timeline (linimasa) untuk implementasinya. Nah, waktunya sudah tiba,” ujarnya.

Menurut Saleh, sebagai sebuah ketentuan nan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), kenaikan PPN menjadi 12 persen kudu dilaksanakan.

“Presiden kan disumpah untuk menjalankan seluruh patokan perundang-undangan. Fraksi PAN juga menilai bahwa kebijakan ini berat. Tetapi sebagai corak ketaatan pada ketentuan UU negara, PAN tetap mendukung. Sembari dengan itu dicari jalan nan dapat meringankan masyarakat,” katanya.

Saleh meminta PDIP mengikuti patokan nan ada agar tidak menimbulkan kesan mau betul sendiri dan menyalahkan partai lain. Menurut dia, sikap demikian tidak baik untuk kehidupan sosial-politik. Dia menuturkan Indonesia sudah memilih kerakyatan sebagai jalan politik, sehingga apa pun keputusan politik nan diambil secara demokratis kudu dihormati.

“Kalau PDIP berada pada posisi oposisi memang selalu begitu. Mereka tahan untuk mengkritik, apalagi sesuatu nan dulu adalah kebijakan mereka,” ucapnya.

Golkar Meminta PDIP Berpolitik secara Elegan 

Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun mengatakan PDIP bersikap mencla-mencle soal kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen nan bakal bertindak pada 1 Januari 2025.

“Sikap politik mencla-mencle PDI Perjuangan seperti ini kudu diketahui oleh semua rakyat Indonesia. Ketika berkuasa berbicara apa, ketika tidak menjadi bagian dari kekuasaan seakan-akan paling depan menyuarakan kepentingan rakyat. Berpolitiklah secara elegan,” kata Misbakhun dalam keterangan nan diterima di Jakarta, Senin, 23 Desember 2024.

Dia menyampaikan perihal itu merespons sikap PDIP nan menyuarakan agar pemerintah mengkaji kembali penerapan kebijakan PPN 12 persen. “Untuk itu, jika saat ini ada upaya politik kembali arah dari PDI Perjuangan dengan melakukan upaya penolakan, itu berfaedah mereka mau tinggal glanggang colong playu (lari dari kewajiban),” ujarnya.

Misbakhun lantas mengungkapkan peran PDIP dalam kebijakan kenaikan PPN pada Panitia Kerja (Panja) RUU HPP nan bergulir pada periode kepemimpinan DPR RI sebelumnya. Saat itu, dia ikut menjadi personil Panja RUU HPP sehingga ikut menyaksikan dan mengetahui dinamika pembahasan mengenai kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dalam RUU itu.

“Mereka terlibat dalam proses politik pembuatan undang-undang itu, apalagi kader PDI Perjuangan Dolfie OFP (Dolfie Othniel Frederic Palit) menjadi Ketua Panja RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) saat pertama kali RUU itu diberikan nama, lampau berubah disetujui menjadi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP),” tuturnya.

Untuk itu, dia menilai tidak selayaknya PDIP seolah cuci tangan terhadap kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen lantaran semuanya tertuang dalam UU HPP nan ditetapkan pada Oktober 2021.

Nasdem Soroti Inkonsistensi PDIP soal penolakan PPN jadi 12 persen

Adapun Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Nasdem Fauzi Amro menyoroti sikap inkonsistensi PDIP terhadap kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen. Fauzi mengatakan kebijakan itu adalah petunjuk UU HPP, nan sebelumnya telah disepakati oleh pemerintah dan DPR, termasuk oleh Fraksi PDIP.

“Penolakan PDIP terhadap kebijakan ini bertentangan dengan keputusan nan telah diambil sebelumnya,” kata Fauzi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

Dia menuturkan UU HPP adalah hasil kesepakatan berbareng nan disahkan melalui Rapat Paripurna DPR pada 7 Oktober 2021. Dalam pembahasannya, Panja RUU HPP dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit.

Untuk itu, Fauzi menilai langkah PDIP mencerminkan sikap nan tidak konsisten lantaran telah mengingkari kesepakatan nan dibuat berbareng antara pemerintah dan DPR. “Sikap ini seperti lempar batu sembunyi tangan dan berpotensi mempolitisasi rumor untuk meraih simpati publik,” tuturnya.

Ketua DPP Partai Nasdem itu mengatakan kebijakan PPN 12 persen merupakan bagian dari reformasi perpajakan nan bermaksud memperkuat penerimaan negara serta mendukung konsolidasi fiskal. Pemerintah juga telah memberikan pengecualian PPN nol persen untuk bahan pokok dan sejumlah jasa. “Langkah ini menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan dasar masyarakat,” ucap Fauzi.

Fauzi menyebut Nasdem mendukung penyelenggaraan kebijakan tersebut sembari meminta pemerintah memperkuat sistem pengawasan agar tidak terjadi distorsi di pasar. Nasdem juga mendorong adanya program kompensasi alias subsidi bagi golongan masyarakat rentan untuk meminimalkan akibat kenaikan tarif PPN.

PDIP: Akar Masalah Isu PPN 12 Persen Bukan Soal Siapa nan Menginisiasi

Sementara itu, Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menyatakan tidak perlu saling menyalahkan mengenai kebijakan PPN 12 persen per 1 Januari 2025. Menurut dia, kesalahan ada pada kondisi ekonomi nan diwariskan oleh pemerintah sebelumnya dan ekonomi global.

“Sebab nan salah adalah situasi ekonomi warisan pemerintah sebelumnya dan ekonomi dunia nan memang tidak mendukung," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Senin, 23 Desember 2024. 

Dia menuturkan akar masalah dari rumor PPN nan jadi polemik bukanlah soal siapa nan menginisiasi alias siapa nan kudu bertanggung jawab. Alih-alih soal siapa, kata dia, akar masalahnya adalah gimana mencari jalan keluar agar tak mencekik perekonomian rakyat. 

Dia menjelaskan UU HPP nan memberikan keleluasaan untuk meningkatkan PPN dari rentang 5 hingga 15 persen itu dibuat dengan dugaan makroekonomi dan mikroekonomi dalam kondisi normal. Namun rupanya kondisi ketika itu berbeda dengan saat ini. 

“Saat ini, semua parameter ekonomi menunjukkan situasi nan tidak kondusif. Dari perspektif fiskal, APBN kita tahun ini defisit sekitar Rp 400 triliun dan tahun depan diproyeksikan defisit mencapai Rp 1.500 triliun," ujar Deddy.

Sedangkan dari sisi moneter, kata dia, nilai tukar rupiah sudah menembus nomor psikologis Rp 16.000. Bahkan, sudah mencapai Rp 16.300 dan diperkirakan bakal terus jatuh hingga Februari 2025.

Dia juga menyoroti gelombang pemutusan hubungan kerja nan diperkirakan bakal terus terjadi, ancaman deflasi, serta daya beli nan terus menurun. Selain itu, kelas menengah makin tergerus, konsumsi melambat, hingga banyak parameter lain nan menunjukkan pelemahan.

“Tentu saja ini bukan salah Presiden Prabowo alias siapa pun, tetapi kondisi-kondisi nan memerlukan pertimbangan untuk pemberlakuan PPN 12 persen,” tuturnya.

Deddy menuturkan PDIP tidak menolak UU HPP. Hanya, partainya meminta pemerintah mengkaji ulang secara serius akibat kenaikan PPN bagi masyarakat. Jika pemerintah menganggap penerapan kenaikan PPN tahun depan sudah tak bisa ditunda dan tak berakibat bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, Deddy mempersilakan untuk diterapkan. Namun, dia berambisi agar pemerintah punya skenario dan rencana mitigasi.

Annisa Febiola dan Antara berkontribusi dalam penulisan tulisan ini.

Pilihan editor: Kata Akademisi dan Komisi III DPR Soal Dugaan Politisasi dalam Penetapan Hasto sebagai Tersangka