Refleksi Pendidikan Akhir 2024: Membangun Kesadaran Teks Dan Konteks

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
 Membangun Kesadaran Teks dan Konteks (MI/Seno)

EDUCATION is not just for earning a living; it is also for living a life (William EB Du Bois).

Sepuluh tahun masa kepemimpinan Jokowi ditandai dengan rusaknya sendi-sendi pendidikan Indonesia. Tiga pilar krusial pendidikan, ialah guru, orangtua, dan pemerintah, nan semestinya menyatu dalam memperbaiki tata kelola pendidikan dibiarkan melangkah sendiri-sendiri, apalagi bertumbuk dan bertindih atas nama ego sektoral masing-masing.

Guru merasa betul sendiri di hadapan para siswanya, orangtua merasa telah memberikan kepercayaan penuh atas pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah, serta pemerintah nan abai dalam membenahi struktur anggaran pendidikan nan lebih setara dan terhormat untuk seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Nampaknya, kita memerlukan strategi untuk membaca dan memahami teks dan konteks pendidikan untuk ketiga pilar moral pendidikan.

Pedagogi fluida

Ada banyak kajian dan riset tentang rendahnya kualitas pembimbing Indonesia. Mereka rerata terperangkap pada style belajar dan mengajar nan kaku dan rigid berasas kitab teks nan dipilih. Meskipun kurikulum diubah puluhan kali, pola mengajar pembimbing tetap mengandalkan kitab teks nan sangat tekstual tanpa ada upaya untuk memandang konteks bahan ajar, kondisi siswa, serta kebutuhan pengembangan kapabilitas siswa berasas tantangan dan dinamika perubahan style hidup nan serbainstan, serta sangat dipengaruhi teknologi serbadigital.

Salah satu tantangan utama nan dihadapi metode pengajaran dan pembelajaran saat ini dalam pendidikan adalah gimana mengenali, di satu sisi, sifat holistis dan hidup dari topik-topik dengan beragam lembaga nan terlibat dalam ruang belajar dan, di sisi lain, membuatnya relevan dengan tantangan kompleks nan dihadapi dunia.

Dengan munculnya mesin ekonomi baru sejak awal abad ke-21 seperti Tiongkok, Turki, dan India, dan dalam menghadapi tantangan dunia seperti pandemi covid-19, geopolitik internasional, pendidikan mengalami transformasi besar: menjauh dari sistem nan didominasi Anglo-Amerika nan berpusat tunggal menuju struktur nan tumpang tindih nan berpusat pada banyak pihak (Amah: 2019; Eriksen2019).

Kesadaran dan pengakuan terhadap beragam budaya dan sistem semakin berakibat krusial pada pemahaman kita tentang pengajaran dan pembelajaran. Pendekatan tradisional terhadap pendidikan nan didasarkan pada makulat analitik dan dicirikan formalisme, dugaan peran nan tetap, dan disposisi kaku terhadap guru, peserta didik, dan pengetahuan, tidak lagi memadai untuk menghadapi meningkatnya kompleksitas nan dihadapi pendidikan, sebagai akibat dari keterhubungan global, dan permintaan bakal perspektif baru terhadap pendidikan di bumi kontemporer.

Kuang-Hsu Chiang dan Asko Karjalainen melakukan kajian menarik dalam Fluid Education—a New Pedagogical Possibility (Scandinavian Journal of Educational ResearchVolume 66, 2022). Pemikiran pedagogis Chiang dan Karjalainen itu mendasari diri pada makulat analitis nan memercayai bahwa pendekatan kependidikan kudu cair (<i>fluid<p>).

Dialektika cair bukan hanya sebuah tawaran dan teori baru nan merujuk pada dialektika Hegel dan dilengkapi dengan Taoisme, tetapi juga mengakui nonlinearitas dan pertentangan nan biasanya dimiliki realitas pendidikan. Kerangka pendidikan cair menekankan pada aktivitas dialektika di antara beragam antinomi disajikan agar seorang terbebas dari waktu, ruang, dan posisi nan tetap dibahas lantaran realitas pendidikan adalah ruang nan kompleks dan kontradiktif untuk beragam macam hubungan pedagogis.

Berbeda dengan pedagogi tradisional nan hanya mencari konfirmasi, kesepakatan, alias konsistensi, fluiditas pedagogis nan muncul dari pemikiran pedagogi dialektis menyoroti pentingnya dan kepositifan antinomi. Pendekatan dialektis terhadap pendidikan sebagian besar dikembangkan dalam tradisi pedagogi hermeneutik Jerman (Geisteswissenschaftliche Paedagogik) pada awal abad ke-19 oleh penulis seperti Dilthey (1968), Nohl (1949), Litt (1927), dan Spranger (1969).

Fluiditas alias keluwesan pendekatan pedagogis jenis itu perlu dilatihkan secara terbuka dan terus-menerus lantaran pembimbing selama ini memahami pendidikan sebagai ruang nan terbatas pada teks tanpa konteks, pada ruang kelas tanpa memandang struktur sosial, serta keterbatasan waktu dalam belajar hanya ketika terjadi hubungan secara langsung dengan siswa di sekolah. Keterbatasan pemahaman pembimbing tentang hubungan antara ucapan dan pemahaman menyebabkan proses pembelajaran menjadi kurang mendalam. Salah satu instrumen krusial nan kudu diubah adalah kitab teks sekolah kita nan kurang mendalam memandang realitas konsep, teori, dan makna esensialnya bagi kehidupan.

Deep order thinking skill (DOTS) perlu diskemakan secara pandai dalam kitab teks sekolah, dengan pendekatan dialektika alias fluiditas pedagogis sebagaimana dijelaskan Chiang dan Karjalainen. Buku teks kudu memastikan terjadinya dialektika nan mendalam sebagaimana ditulis Lao Tzu dalam Tao Te Ching bahwa 'Ketika orang memandang beberapa perihal sebagai indah, hal-hal lain menjadi jelek. Ketika orang memandang beberapa perihal sebagai baik, hal-hal lain menjadi buruk. Ada dan tidak ada saling menciptakan. Sulit dan mudah saling mendukung. nan panjang dan nan pendek saling menentukan. nan tinggi dan nan rendah saling bergantung. Sebelum dan sesudah saling mengikuti' (Mitchell, 1988).

Psikososial masyarakat

Teori belajar John Dewey menunjukkan seluruh situasi pembelajaran tumbuh dan berkembang dari lingkungan psikososial masyarakat lantaran pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman orang per orang. Itulah kenapa proses pendidikan selalu mempunyai dua sisi, ialah mental dan sosial. “School cannot solve society’s problems. In fact, school could affect much more rapid reforms if society changed first. If society really stopped being racist, it would insist (and enforce the expectation) that all its institutions, including school, do likewise” (Geneva Gay, 2000).

Jika pendidikan diartikan secara sederhana dalam corak kelembagaan, sekolah adalah penjelasannya. Karena itu, sekolah menjadi tempat berjuntai setiap personil masyarakat untuk mempersiapkan masa depan anak-anak mereka. Dengan sekolah nan memperoleh support dari masyarakat nan berkemauan untuk berubah, sesungguhnya pendidikan telah bergerak ke arah nan benar.

Masalahnya adalah gimana dengan sikap mental masyarakat kita nan saat ini sangat permissive dari segi budaya dan mudah mengambil konklusi lantaran masyarakat kita belum terbiasa dengan perbedaan pendapat. Kedua jenis mentalitas masyarakat ini perlu dibangun ulang melalui serangkaian socio-therapy nan merupakan tugas utama dari moral pendidikan. Sekolah dengan struktur manajemen nan sehat dan support masyarakat nan kuat merupakan kata kunci nan tepat untuk mengatasi masalah maraknya perilaku menyimpang siswa di sekitar kita.

Apa pun jenis sekolah dan jenjangnya, orangtua merupakan aspek dominan nan menjadi penentu sukses-tidaknya dan baik-buruknya anak-anak di sekolah dan sesudahnya. Negara punya peran kuat untuk menarik kesertaan masyarakat dalam proses pendidikan secara aktif. Namun, secara teks tugas masyarakat di dalam undang-undang sistem pendidikan kita belum memadai dan belum dihargai secara maksimal.

Tak ada penyertaan secara konkret masyarakat ke dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Sekolah dan negara perlu lebih aktif menggali potensi support dari masyarakat sekitar sekolah. Dalam konteks penanaman moral dan budi pekerti, membikin ikatan emosional siswa-sekolah-orangtua sebenarnya berongkos sangat murah. Lakukan saja praktik memberikan info tentang aktivitas sekolah anak-anak mereka dengan mengirim weekly folder ke orangtua, alias buatlah skema homework is family work dalam seluruh kitab teks siswa. Karena itu, kebijakan ulang penulisan dan reviu kitab teks nan secara sengaja memuat kreasi keterlibatan orangtua dalam pengajaran dan pembelajaran adalah imperatif.

Posisi negara

Dalam Journal of Education Finance, Walter W McMahon (2006) menyebut nyaris semua negara demokratis nan maju dan terkemuka menyumbang sebanyak 92,1% pembiayaan pendidikan dasar dan menengah. Hal itu terlihat dari intensnya pajak untuk kebutuhan pendidikan disosialisasikan kepada bumi industri. Sebaliknya di beberapa negara berkembang nan berpaham demokratis, perkembangannya sedikit lebih lamban, ialah sekitar 78%. Di manakah posisi Indonesia? Krisis dunia nan semakin nyata saat ini bakal membawa akibat serius pada keahlian dan daya beli masyarakat terhadap jasa dan jasa pendidikan.

“As is the state, so is the school (sebagaimana negara, seperti itulah sekolah)” alias “What you want in the state, you must put into the school<(apa nan Anda inginkan dalam negara, kudu Anda masukkan ke sekolah)” adalah ungkapan para penggagas hubungan antara pendemokrasian dan situasi pendidikan suatu negara. Karena itu, peran negara bisa sangat banget kuat terhadap arah dan visi pendidikan suatu negara sehingga implikasi praktisnya bakal menjadikan semua gedung kebutuhan pembelajarannya menjadi sangat formal. Padahal, totalitas pendidikan kudu meliputi semua jenis dan pendekatan pengajaran, baik formal, informal, maupun nonformal.

Secara teks peran negara di bagian pendidikan memang penting, terutama dalam mengatur tata kelola anggaran pendidikan dengan lebih efektif. Tidak seperti sekarang, pendidikan menjadi terpotong-potong ke dalam empat kementerian (dikdasmen, dikti dan saintek, kebudayaan, dan agama) nan pengedaran anggarannya sangat tidak efektif dan efisien.

Efektivitas kebijakan pendidikan selama ini berjalan tanpa pertimbangan dan monitoring yang memadai. Sulitnya mengontrol perilaku birokrasi pengelola kebijakan pendidikan adalah hanya salah satu bukti nan menunjukkan reformasi birokrasi nan kita inginkan tak pernah berjalan. Penyebabnya antara lain ketiadaan unsur keterlibatan masyarakat ketika sebuah kebijakan hendak diakuisisi ke dalam corak program. Padahal, sejatinya, kesempatan masyarakat untuk terlibat dan memberikan masukan terhadap suatu kebijakan haruslah dibuka peluangnya.

Mengubah kesadaran teks nan sangat umum di tingkat guru, masyarakat, dan pemerintah menjadi lebih kontekstual adalah kerja budaya dan politik nan kudu berdasarkan pada keikhlasan lantaran di dalam keikhlasan itu sendiri tetap banyak residu keserakahan nan tersumbat lantaran kepentingan pribadi dan kelompok. Semoga pada 2025 kelak bakal ada banyak kemenangan bagi keikhlasan dan kekalahan bagi keculasan. Amin.