Prof Eva Achjani Zulfa Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Tetap Fhui

Sedang Trending 4 minggu yang lalu
Prof Eva Achjani Zulfa Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Tetap FHUI Prof Eva Achjani Zulfa resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dengan bagian skill Hukum Sanksi dan Restorative Justice.(MI/HO)

PROF Eva Achjani Zulfa resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dengan bagian skill Hukum Sanksi dan Restorative Justice. Pengukuhan tersebut dipimpin Rektor Universitas Indonesia, Prof Heri Hermansyah. 

Dalam pidato pengukuhannya, nan berjudul Restorative Justice: Gerakan Sosial Masyarakat Global dalam Upaya Memulihkan Keadilan, Prof Eva mengangkat tema nan sudah banyak dibahas, namun tetap relevan dan krusial dalam perkembangan norma pidana di seluruh dunia. 

Pidato ini tidak hanya menyampaikan pandangan akademis, tetapi juga mencerminkan pemahaman mendalam mengenai aktivitas sosial nan semakin mendapatkan perhatian global: Restorative Justice.

Restorative Justice, nan telah dikenal lebih dari separuh abad, merupakan sebuah pendekatan dalam sistem peradilan nan menekankan pemulihan dan rekonsiliasi antara pelaku kejahatan, korban, dan masyarakat. 

"Konsep ini tidak hanya berfokus pada hukuman, tetapi lebih kepada memperbaiki hubungan nan rusak dan menciptakan keadilan nan lebih holistik," kata Prof Eva, Rabu (18/12).

Menurut Prof Eva, aktivitas ini telah menjadi topik sentral dalam obrolan tentang masa depan norma pidana dan peradilan pidana, terutama dalam merespons perubahan dinamika sosial dan kejahatan nan semakin kompleks.

Prof Eva mencatat, walaupun tema Restorative Justice telah banyak disampaikan di beragam forum akademik, pidato pengukuhannya menunjukkan bahwa konsep ini semakin relevan dan menarik perhatian luas. 

Restorative Justice bukan sekadar konsep hukum, melainkan aktivitas sosial nan telah menjadi bahan obrolan hangat baik di kalangan akademisi, praktisi, maupun kreator kebijakan di beragam negara.

Gerakan ini muncul dengan tujuan utama untuk menyembuhkan luka sosial nan timbul akibat kejahatan, serta mengedepankan perbincangan dan perundingan sebagai pengganti dari sistem norma pidana nan condong berfokus pada balasan semata. 

Prof Eva meyakini bahwa Restorative Justice mempunyai potensi untuk terus berkembang dan mentransformasi langkah kita memandang dan menangani kejahatan di masyarakat.

Terlebih, salah satu aspek menarik dari Restorative Justice adalah penerapannya nan dapat disesuaikan dengan konteks sosial dan budaya di setiap negara. 

Dalam beberapa tahun terakhir, konsep ini semakin mendapat perhatian, tidak hanya dalam penanganan kenakalan remaja, tetapi juga dalam konteks nan lebih luas, seperti kejahatan domestik, narkotika, korupsi, pelanggaran kewenangan asasi manusia (HAM), dan apalagi terorisme. 

Sebab Restorative Justice menawarkan pengganti penyelesaian nan bisa mempertemukan korban dan pelaku untuk mencari solusi nan lebih manusiawi dan konstruktif.

"Namun, penerapan Restorative Justice tidaklah mudah. Setiap negara alias wilayah mempunyai karakter dan dinamika bentrok sosial nan berbeda," tambahnya.

Oleh lantaran itu, setiap penerapan konsep ini perlu disesuaikan dengan konteks lokal, baik itu dalam perihal jenis kejahatan, struktur sosial, maupun sistem norma nan berlaku. 

Sebagai aktivitas sosial global, Restorative Justice membawa beragam skema dan pendekatan nan beragam pula, namun tetap berfokus pada prinsip dasar pemulihan dan rekonsiliasi.

Dalam konteks Indonesia, Prof Eva menyoroti pentingnya transformasi Restorative Justice dalam sistem norma pidana. Salah satu pencapaian krusial dalam perihal ini adalah pengesahan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nan membuka kesempatan bagi penerapan Restorative Justice dalam penegakan norma di Indonesia. 

Undang-Undang ini memberikan ruang bagi penegak norma untuk merumuskan model hukuman nan tidak hanya berorientasi pada balasan semata, tetapi juga pada pemulihan dan reintegrasi sosial.

Namun, meskipun langkah besar ini telah diambil dengan terbitnya UU No. 1/2023, tetap ada tantangan besar nan kudu dihadapi. Salah satunya adalah pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) nan belum memberikan ruang nan cukup untuk penerapan Restorative Justice dalam proses peradilan pidana. 

Prof Eva menekankan pembaharuan KUHAP sangat diperlukan agar proses penanganan perkara pidana dapat mengakomodasi pendekatan berbasis Restorative Justice, nan lebih berorientasi pada pemulihan daripada penghukuman semata.

Prof Eva juga menyampaikan bahwa Restorative Justice bakal terus mengalami perkembangan dan transformasi seiring dengan perubahan modus operandi kejahatan dan model penanganannya. Kejahatan-kejahatan nan lebih kompleks mungkin memerlukan pendekatan nan lebih inovatif dan adaptif.

Lebih jauh lagi, Prof Eva menegaskan Restorative Justice bukanlah sebuah solusi nan bisa diterapkan secara seragam di semua jenis tindak pidana. Penerapannya kudu dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan beragam aspek, seperti kewenangan korban, keadilan sosial, dan integritas sistem peradilan itu sendiri. 

Oleh lantaran itu, para akademisi, penegak hukum, dan kreator kebijakan kudu terus melakukan kajian dan penyesuaian agar konsep ini tetap relevan dan efektif di masa depan. (Z-1)