Penghapusan Presidential Threshold Tak Membuat Politik Nasional Terfragmentasi

Sedang Trending 5 hari yang lalu
Penghapusan Presidential Threshold Tak Membuat Politik Nasional Terfragmentasi Gedung Mahkamah Konstitusi .(Antara/Indrianto Eko Suwarso)

GURU Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Aidul Fitriciada Azhari mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nan menghapus periode pemisah minimal pencalonan presiden (presidential threshold) bakal membawa implikasi besar.

Menurut Aidul, secara normatif partai mini sekarang dapat mencalonkan kandidatnya tanpa kudu berasosiasi dengan partai besar, namun dia menilai realitanya tidak sesederhana itu.

“Secara teori, partai mini bisa mencalonkan. Tapi biaya politik untuk pemilu presiden sangat besar, mencapai ratusan triliun. Tidak mungkin partai mini bisa menanggungnya sendiri,” kata Aidul dalam keterangannya pada Sabtu (11/1).

Lebih lanjut, Aidul mengingatkan bahwa keputusan MK bukanlah tanpa risiko. Menurutnya, salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi munculnya kandidat-kandidat tanpa kualitas dan kecakapan.

“Dengan dihapusnya threshold, semua partai termasuk nan mini punya kesempatan mencalonkan kandidat. Tapi apakah itu berfaedah lebih banyak kandidat berkualitas? Belum tentu. Kita kudu memandang gimana sistem ini diimplementasikan,” ujarnya.

Meski banyak nan menyambut antusias penghapusan presidential threshold, tak sedikit pula masyarakat nan cemas bakal potensi terjadinya fragmentasi politik. Namun Aidul beranggapan perihal tersebut tak bakal terjadi.

“Indonesia tidak pernah mengalami fragmentasi politik secara ideologis. Kita sudah selesai untuk urusan itu. Hampir semua partai itu tidak punya fragmentasi ideologis terlalu ketat,” jelas Mantan Ketua Komisi Yudisial RI.

Sebagai contoh, Aidul memberikan gambaran sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) nan semestinya menjadi partai nasionalis sekuler, tetap mau dianggap religius pada beberapa praktik.

Hal serupa kata Aidul, juga terjadi pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS), nan dikenal sebagai partai Islamis tetapi pada beberapa perhelatan pemilu mencoba menunjukkan sisi nasionalisnya.

“Tidak seperti di Turki, misalnya, di mana garis antara partai sekuler dan Islamis sangat jelas. Di Indonesia semuanya cair. Ini nan membikin fragmentasi politik ideologis tidak menjadi ancaman besar,” tuturnya.

Selain itu, Aidul menjelaskan keputusan MK tersebut tak melulu soal merombak patokan main politik di Indonesia, namun juga membuka kesempatan untuk memecah kekuasaan partai besar nan selama ini mengontrol koalisi dan pencalonan presiden.

“Penghapusan presidential threshold menuntut kita untuk mengevaluasi kembali struktur koalisi partai nan selama ini terbangun. Koalisi nan lebih didorong oleh pragmatisme politik, kudu digantikan dengan koalisi nan berdasarkan ideologi dan visi untuk membangun negara,” ucapnya.

Menurutnya, dengan kemungkinan bertambahnya jumlah pasangan calon, partai politik kudu konsentrasi pada kaderisasi nan berbobot agar menghasilkan calon pemimpin nan mumpuni.

“Pemerintah kudu pula mencanangkan kebijakan nan mendukung proses pemilu inklusif, sementara masyarakat diharapkan semakin kritis dalam menentukan pilihan pemimpin demi masa depan bangsa,” tandasnya. (J-2)