Pelatih Baru, Pssi Baru

Sedang Trending 6 hari yang lalu
Pelatih Baru, PSSI Baru Suryopratomo Pemerhati sepak Bola(MI/Seno)

KRITIKAN langsung berceceran begitu merebak rumor adanya pergantian pembimbing tim nasional Indonesia. Sebagian besar menyampaikan kekecewaan terhadap keputusan Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir untuk memecat pembimbing asal Korea Selatan, Shin Tae-yong, nan telah empat tahun menangani tim ‘Garuda’.

Nama besar pembimbing asal Belanda, Patrick Kluivert, tidak membikin para pencinta sepak bola Indonesia mau memakluminya. Mereka tetap menganggap keputusan PSSI tidak berdasar dan pilihan atas mantan bintang sepak bola Belanda bukan sebuah agunan prestasi.

Ada dua penilaian terhadap sikap para pendukung ekstrem tim ‘Merah Putih’ itu. Pertama, mereka dianggap emosional dan cinta buta terhadap Shin Tae-yong. Padahal selama empat tahun menjadi pembimbing timnas Indonesia, dia belum pernah mempersembahkan gelar, sehingga sebenarnya wajar andaikan pembimbing asal Korsel itu diberhentikan.

Kedua, para pendukung sepak bola dinilai merasa lebih dahsyat daripada pengurus PSSI, apalagi Ketua Umum PSSI. Padahal orang seperti Erick Thohir pernah menjadi pemilik Internazionale Milan, DC United, dan Oxford United. Jadi pasti Erick Thohir tahu apa nan terbaik bagi sepak bola Indonesia.

Sebenarnya, kita kudu bisa memahami kegundahan para pencinta sepak bola Indonesia. Rasa mempunyai nan kuat dari pendukung ekstrem sepak bola nasional justru kudu dilihat sebagai kekuatan lantaran mereka bakal selalu berada di belakang tim, baik saat menang maupun kalah.

Para pendukung ekstrem itu seperti mendengar geledek di siang hari bolong ketika tiba-tiba Shin Tae-yong diberhentikan. Tidak pernah ada tanda-tanda bahwa pengurus PSSI merasa kecewa dengan keahlian Shin Tae-yong. Pengurus PSSI belum lama memutuskan memperpanjang perjanjian Shin Tae-yong hingga 2027, dan apalagi pembimbing asal Korsel itu dijadikan orang pertama nan menerima 'Golden Visa' dari Presiden Joko Widodo.

Alasan adanya silang pendapat antara pembimbing dan pemain sesudah pertandingan melawan Bahrain dan kemudian kalah dari Tiongkok dianggap mengada-ada. Masalahnya, setelah kekalahan menyakitkan itu, tim didikan Shin Tae-yong bisa bangkit dan tidak tanggung-tanggung mengalahkan raksasa sepak bola Asia, Arab Saudi, 2-0.

Bahwa kemudian Shin Tae-yong kandas di arena Piala AFF 2024 setelah kalah dari Vietnam dan Filipina serta ditahan seri Laos, itu lantaran pengurus PSSI sendiri nan tidak menjadikan arena kejuaraan antarnegara ASEAN tersebut sebagai prioritas. PSSI sengaja menurunkan tim lapis kedua agar tim utama konsentrasi di penyisihan Piala Dunia 2026.

Silang pendapat soal pemecatan Shin Tae-yong sebenarnya tidak perlu terjadi andaikan kriteria pergantiannya jelas dan komunikasi publiknya dilakukan dengan baik. Para pendukung sepak bola pasti bakal mengerti jika parameter keberhasilan sang pembimbing disampaikan secara jelas.

Shin kudu dikatakan telah meninggalkan fondasi tim nasional nan baik. Beberapa pemain sukses dia lahirkan dan matangkan sejak menangani sepak bola Indonesia pada 2020. Kebetulan saya memandang persiapan tim nasional ketika bakal tampil di arena Piala AFF 2020 nan kebetulan dipusatkan penyelenggaraannya di Singapura lantaran pandemi covid-19.

Dari tim nan di awal kejuaraan tertatih-tatih tanpa corak bisa menjadi tim nan solid dan lolos hingga pertandingan puncak. Ketika itu muncul nama-nama pemain seperti Nadeo Argawinata, Asnawi Mangkualam, Pratama Arhan, Alfeandra Dewangga, Rizky Ridho, Witan Sulaeman, dan Egy Maulana. Beberapa di antara mereka apalagi semakin matang dan menjadi jagoan sekarang ini.

Prestasi gemilang nan ditorehkan Shin sebagai pembimbing adalah ketika sukses menyingkirkan dua raksasa sepak bola Asia, Australia dan tim asal negaranya, Korea Selatan, di penyisihan Olimpiade Paris 2024. Sayang perjalanan tim terhenti di semifinal dan tim didikan Shin kemudian kudu menelan dua kekalahan di pertandingan play-off melawan Irak dan Guinea.

Satu lagi prestasi nan melekat kuat di akal para pecinta sepak bola Indonesia adalah keberhasilan pembimbing asal Korsel itu membawa tim 'Garuda' melaju hingga babak ketiga penyisihan Piala Dunia 2026. Memang aspek kehadiran sembilan pemain naturalisasi asal Belanda nan dilakukan PSSI menjadi aspek utama tim 'Merah-Putih' bisa berada di posisi ketiga klasemen sementara Grup C dari enam pertandingan nan sudah dimainkan. Namun, peran pembimbing untuk bisa meraih prestasi besar termasuk mengalahkan Arab Saudi tidak bisa dinihilkan.

Saat para pecinta sepak bola sedang dilanda euforia, wajar mereka jengkel dan marah ketika palu godam tiba-tiba dijatuhkan. Tidak pernah terdengar ada rapat pertimbangan untuk menilai keahlian Shin dan tidak pernah diketahui ada langkah nan dilakukan Direktur Teknik PSSI untuk mencari nama-nama pembimbing nan bakal menggantikannya.

Keterbukaan perlu dilakukan lantaran sepak bola dan PSSI bukan milik pribadi. Dana nan dipakai untuk membina sepak bola juga tidak berasal dari kantong pribadi, tetapi menggunakan anggaran negara. Seharusnya personil DPR dan Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga mengawasi langkah dan penggunaan anggaran nan dipergunakan PSSI, mewakili kepentingan publik.

Tidak salah jika ketidakjelasan prosedur penilaian dan pergantian menimbulkan kesan adanya one man show di tubuh PSSI. Seakan-akan sepak bola hanya milik Ketua Umum PSSI dan itulah nan menimbulkan kritik keras dari pecinta sepak bola Indonesia sekarang ini.

The show must go on

Sekarang keputusan sudah diambil dan suka tidak suka, kita semua kudu menerimanya. Kita kudu memberikan kesempatan kepada PSSI dan pembimbing Patrick Kluivert bahwa mereka bakal bisa membikin tim nasional menjadi lebih baik.

Memang tidak ada agunan bahwa kehadiran Kluivert bakal membikin kesebelasan Indonesia menjadi lebih hebat. Pelatih dengan reputasi bumi sekelas Roberto Mancini, nan sukses membikin Manchester City menjuarai Liga Primer dan Italia memenangi Piala Eropa pun, kandas ketika ditunjuk menjadi pembimbing Arab Saudi.

Apalagi Kluivert tidak pernah mempunyai prestasi nan meyakinkan sebagai pelatih. Ia memang dikenal sebagai salah satu 'generasi emas' Akademi Ajax. Namun, rekam jejaknya di bumi kepelatihan lebih sering sebagai asisten pembimbing daripada menjadi pembimbing kepala.

Sekarang PSSI mencoba menutupi 'kesalahan' dalam memilih pembimbing dengan berkilah bahwa dua asisten pembimbing nan bakal dibawa Kluivert, ialah Alex Pastoor dan Denny Landzaat, merupakan asisten nan hebat. Kalau memang dua asisten lebih baik, kenapa tidak mereka saja nan dipercaya menjadi pelatih?

Pertaruhan itu sudah diambil dan the show must go on. Persoalan terberat nan dihadapi Kluivert, sembilan alias 11 pemain andalannya sibuk dengan kejuaraan di Eropa. Terbang lebih 14 jam ke Indonesia hanya untuk berlatih berbareng jelas tidak mungkin. Membuat camp unik di Eropa untuk menyamakan persepsi juga mustahil lantaran berfaedah kudu memboyong pemain Indonesia ke Eropa nan sedang berada di puncak musim dingin.

Pertandingan ketujuh nan kudu dimainkan Indonesia juga tidak terlalu menguntungkan lantaran kudu bertandang ke Australia. Dalam debutnya sebagai pembimbing Indonesia, Kluivert tidak boleh kalah lantaran kekalahan bakal membangkitkan kembali kemarahan pecinta sepak bola Indonesia dan secara psikologis menambah beban saat menjamu Bahrain dan Tiongkok di pertandingan berikutnya.

Satu nan membikin kita kudu percaya, Kluivert terbiasa dalam tekanan seperti itu. Saat menjadi pemain, dia mengerti gimana keluar dari tekanan. Semoga pengalamannya sebagai salah satu bintang besar Belanda bakal bisa ditularkan kepada pemain asuhannya.

Heboh pergantian pembimbing diharapkan menjadi pelajaran berbobot bagi para pengurus PSSI. Bagaimana PSSI ke depan bisa membangun sistem nan lebih baik dari manajemen organisasi hingga nan paling krusial adalah pembinaan nan terarah, berkualitas, dan berjenjang.

Pembagian kerja dan tugas kudu bisa ditata lebih baik sesuai dengan tugas dan fungsi. Tugas seorang ketua umum paling utama adalah menentukan arah pembinaan sepak bola dan menetapkan strategi untuk mencapai tujuan. Tugas ketua umum tidak hanya mengurusi tim nasional, tetapi juga sepak bola secara keseluruhan. Mari kita belajar dari Presiden Federasi Sepak Bola Prancis Fernand Sastre nan meletakkan dasar pembinaan sepak bola Prancis secara benar, tanpa kudu berambisi meraih juara hanya demi ketenaran pribadi.

Dengan Kluivert menjadi pelatih, ruang bagi ketua umum untuk masuk ruang tukar pemain dan memberikan wejangan bakal terbatas. Dalam kultur sepak bola Eropa, wilayah teknis sepenuhnya menjadi kewenangan pelatih.