Universodelibros.com, Jakarta - Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menyatakan tidak perlu saling menyalahkan mengenai kebijakan pajak pertambahan nilai alias PPN 12 persen per 1 Januari 2025. Menurut dia, kesalahan ada pada kondisi ekonomi nan diwariskan oleh pemerintah sebelumnya dan ekonomi global.
"Sebab nan salah adalah situasi ekonomi warisan pemerintah sebelumnya dan ekonomi dunia nan memang tidak mendukung," ujarnya saat dihubungi Tempo, pada Senin, 23 Desember 2024.
Baca buletin dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menuturkan, akar masalah dari rumor PPN nan jadi polemik bukanlah soal siapa nan menginisiasi alias siapa nan kudu bertanggung jawab. Alih-alih soal siapa, kata dia, akar masalahnya adalah gimana mencari jalan keluar agar tak mencekik perekonomian rakyat.
Dia menjelaskan, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) nan memberikan keleluasaan untuk meningkatkan PPN dari rentang 5 hingga 15 persen itu dibuat dengan dugaan kondisi makroekonomi dan mikroekonomi dalam kondisi normal. Namun, rupanya kondisi ketika itu berbeda dengan saat ini.
"Saat ini, semua parameter ekonomi menunjukkan situasi nan tidak kondusif. Dari perspektif fiskal, APBN kita tahun ini defisit sekitar Rp 400 triliun dan tahun depan dproyeksikan defisit mencapai Rp 1.500 triliun," ujar Deddy.
Sedangkan dari sisi moneter, kata dia, nilai tukar rupiah sudah menembus nomor psikologis Rp 16.000. Bahkan, sudah mencapai Rp 16.300 dan diperkirakan bakal terus jatuh hingga Febuari 2025.
Dia juga menyoroti gelombang pemutusan hubungan kerja nan diperkirakan bakal terus terjadi, ancaman deflasi, serta daya beli nan terus menurun. Selain itu, kelas menengah makin tergerus, konsumsi melambat, hingga banyak parameter lain nan menunjukkan pelemahan.
"Tentu saja ini bukan salah Presiden Prabowo alias siapa pun, tetapi kondisi-kondisi nan memerlukan pertimbangan untuk pemberlakuan PPN 12 persen," tutur dia.
PDIP, kata Deddy, tidak menolak UU HPP. Hanya saja, partainya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang secara serius akibat kenaikan PPN bagi masyarakat. "Apakah Januari tahun depan adalah waktu nan tepat alias tidak, alias kita kudu menunggu indikator-indikator ekonomi sedikit lebih baik?" ujarnya.
Jika pemerintah menganggap penerapan kenaikan PPN tahun depan sudah tak bisa ditunda dan tak berakibat bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, Deddy mempersilakan untuk diterapkan. Namun, dia berambisi agar pemerintah punya skenario dan rencana mitigasi.
Pemerintah tetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi PPN 12 Persen pada 1 Januari 2025. Hal ini disebut untuk meningkatkan penerimaan negara lantaran rasio pajak Indonesia rendah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut kenaikan ini kondusif dan telah dirancang agar tidak membebani masyarakat. Rasio pajak Indonesia saat ini tercatat di nomor 10,4 persen, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara lain nan mencapai 15 persen.
Sri Mulyani membandingkan dengan Brasil nan menetapkan tarif PPN sebesar 17 persen dan mempunyai rasio pajak 24,67 persen, serta Afrika Selatan dengan tarif PPN 15 persen dan rasio pajak mencapai 21,4 persen.
“Jadi Indonesia saat ini dengan (PPN) 11 persen, tax ratio kita tetap di 10,4. Ini bisa memberikan gambaran pekerjaan rumah dan perbaikan nan kudu kita lakukan,” kata Sri Mulyani saat konvensi pers membahas paket kebijakan ekonomi di instansi Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat pada Senin, 16 Desember 2024.
Putri Safira Pitaloka berkontribusi dalam tulisan ini.
Pilihan editor: Respons Yenny Wahid soal Prabowo Singgung Usulan Gus Dur Jadi Pahlawan Nasional