Universodelibros.com, Jakarta -- Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengatakan kementeriannya sudah berkirim surat ke Panglima TNI dan Kepala Polri. Menteri Natalius meminta lembaga tersebut mengevaluasi penggunaan senjata api terhadap anggotanya. “Mungkin juga kelak ke Perbakin (Persatuan Menembak Indonesia) agar mempertimbangkan masukan masyarakat demi pencegahan,” ujar dia saat dihubungi Tempo pada Rabu, 8 Januari 2025.
Menteri Natalius menyoroti maraknya penembakan senjata beberapa waktu belakangan ini. Ia pun meminta agar TNI dan Polri mengevaluasi penggunaan senjata api. Kasus nan menjadi sorotan antara lain Kepala Dinas Perhubungan Kota Jayapura nan terkena tembakan; kasus penembakan pengacara di Bone, Sulawesi Selatan; dan kasus penembakan di rest area tol Tangerang-Merak nan diduga dilakukan personil TNI. Dia menyayangkan maraknya kasus penembakan di luar norma dalam waktu berdekatan, terutama nan dilakukan aparat.
Baca buletin dengan sedikit iklan, klik di sini
Natalius menjelaskan, penggunaan senjata oleh abdi negara maupun masyarakat sipil diikat dengan ketentuan dan patokan nan ketat, termasuk prosedur penggunaannya. Menurut dia, maraknya tindakan penembakan menunjukkan ada aspek legalitas dan prosedur nan dilanggar. Dengan begitu, kata dia, bukan saja pengetatan nan diperlukan, tapi pertimbangan total. "Penggunaan senjata secara tidak bertanggung jawab jelas menjadi ancaman bagi kewenangan asasi manusia dan juga ancaman bagi stabilitas sosial,” uajr dia.
Munculnya kasus-kasus penembakan ini, Natalius melanjutkan, bukan saja menimbulkan ketakutan, tetapi ancaman bagi kewenangan hidup bagi masyarakat. Dia mengutip Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), ialah setiap orang berkuasa atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan pribadi. Penyalahgunaan senjata nan menyebabkan ancaman terhadap keselamatan perseorangan jelas bertentangan dengan kewenangan asasi manusia.
Dia menegaskan, salah satu aspek krusial HAM adalah kebebasan dari rasa takut alias freedom of fears. "Dalam kasus seperti ini jelas menebarkan ketakutan dan tentu saja ancaman bagi kehidupan. Sementara negara bertanggung jawab untuk melindungi warganya,” kata Natalius.
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam tulisan ini.