SETELAH 32 kali Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terkait dengan ambang pemisah pencalonan presiden dan wakil presiden, MK akhirnya luluh juga dengan menghapus ketentuan presidential threshold (PT) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Putusan itu disampaikan MK pada Kamis (2/1) setelah mengadili empat perkara terkait dengan uji materi Pasal 222 Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu. Ambang pemisah dianggap bertentangan dengan kewenangan politik dan kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Kalau ditelusuri ke belakang, penerapan PT pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004, 2009, dan 2014 sunyi dari kritik. Bisa dimaklumi lantaran waktu itu pemilu personil DPR, DPD, dan DPRD lebih dulu dilaksanakan, baru kemudian pilpres. Karena itu, setiap parpol peserta pemilu menjadikan nomor perolehan bunyi pada pemilu personil legislatif sebagai syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden.
Pada Pilpres 2019, lantaran pilpres dan pemilihan legislatif serentak, periode pemisah nan digunakan ialah perolehan jumlah bangku DPR dan bunyi sah nasional pada pemilu personil DPR sebelumnya. Ini bertindak pula pada Pilpres 2024 yang mana untuk mengusung calon presiden (capres), partai, atau campuran partai politik memperoleh minimal 15% jumlah bangku DPR alias 20% dari perolehan bunyi sah nasional dalam pemilu personil DPR periode sebelumnya.
Kabar baik
Penghapusan syarat periode pemisah pencalonan presiden (PT) menjadi berita baik bagi rakyat dan pembangunan demokrasi. Selama ini partai politik nan meraih bunyi terbanyak di parlemen nan bisa mengusulkan capres dalam pilpres. Untuk mengusung capres, partai alias campuran partai politik kudu memperoleh minimal 15% jumlah bangku DPR alias 20% dari perolehan bunyi sah nasional dalam pemilu personil DPR periode sebelumnya.
Hal tersebut tentu saja tidak logis dan nirkonstitusional lantaran menggunakan syarat pemilu terdahulu untuk diterapkan pada peserta pemilu berikutnya. Padahal, konstelasi politik nan memengaruhi kualitas hasil pemilu mestinya melangkah secara progresif mengikuti dinamika masyarakat nan berkembang.
Kontestasi politik ialah arena mengukur berat kualitas hasil politik, dari input (mekanisme, tata langkah nan melibatkan masyarakat), proses (pelaksanaan kontestasi nan ahli dan demokratis), serta hasil (hasil pemilu nan berkualitas, akuntabel dan berintegritas) sebagai satu kesatuan demokratis nan menentukan masa depan rakyat.
Memang parpol ialah lembaga nan diberikan mandat oleh konstitusi untuk menjalankan rekrutmen, kaderisasi, termasuk menominasikan calon pemimpin. Namun, mandat tersebut kudu dijiwai oleh prinsip nan inklusif, memastikan bahwa bunyi dan aspirasi rakyat dapat terwakili dalam kontestasi agar pemilu nan jujur dan setara dapat terwujud.
Terkait dengan hal tersebut, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pernah mengkritik patokan PT dalam pidatonya di aktivitas penganugerahan gelar doktor honoris causa (HC) di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur (25 Juli 2022). Baginya, patokan tersebut mengekang kewenangan seluruh penduduk negara untuk bisa mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa.
PT tak ubahnya 'tiket politik' yang hanya diberikan kepada mereka (parpol-parpol) nan bisa membayarnya (lewat sejumlah bangku parlemen nan sukses diraih). Ini akhirnya menutup hak-hak penduduk untuk menyodorkan calon pemimpin nan representatif dan berkualitas karena PT justru lebih mewakili nomor negosiasi antarelite nan mempunyai bunyi di parlemen untuk mengatur kontestasi (pilpres) agar diikuti oleh kontestan yang 'dikehendaki' mereka.
Kerap kali koalisi parpol nan tercipta hanya untuk menggenapkan nomor periode pemisah daripada didasarkan pada kemauan untuk menajamkan support politik berbasis platform ideologi politik parpol.
Dengan pemberlakuan periode batas, partai nan tak mempunyai bangku di parlemen tak bisa mencalonkan capresnya lantaran tak memiliki 'tiket politik' dimaksud. Padahal, tidak semua calon-calon pemimpin nan disukai rakyat lantaran integritas dan prestasinya bisa dicalonkan oleh parpol peraih bangku terbanyak di parlemen. Ada semacam kultur ekslusifisme politik dalam partai nan membatasi suara-suara kerakyatan menghuninya.
Bahkan, yang lebih miris, potensi terwujudnya calon tunggal dalam pemilu dengan kondisi tersebut sangat mudah terjadi lantaran konsensus para elite akhirnya digerakkan oleh pragmatisme elite parpol untuk mendapatkan insentif kekuasaan pasca-pilpres.
Terobosan demokrasi
Apa dampaknya dari semua itu? Pemilu akhirnya kehilangan spirit kontestasi lantaran nan dikontestasikan pada pemilu ialah calon-calon pilihan nan lebih banyak berasas faktor-faktor nonelektoral, bukan aspek kualitas kompetensi calon.
Di sisi lain, angan publik untuk mendapat pemimpin nan mempunyai watak progresif dan kontekstual untuk menghasilkan perubahan nan berakibat luas bagi bangsa lewat pemimpin terpilih bakal susah tercapai. Itu disebabkan pemimpin terpilih ialah manifestasi dari proses transaktif tanpa melalui sensivitas menyerap aspirasi genuine masyarakat, termasuk masyarakat paling bawah (grass root).
Itu sebabnya PT di negara nan menganut sistem presidensial dibuat hanya dalam kebutuhan menghitung keterpilihan seorang capres menjadi presiden. Seperti di Brazil, yang mana PT-nya ialah 50% plus satu, di Equador 50% plus satu alias 45% asalkan selisihnya 10% dari kandidat terkuat; di Argentina, 45%, alias 40%. PT di negara-negara tersebut ialah syarat seorang capres untuk terpilih menjadi presiden, bukan syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden (Wardhana, 2018).
MK sudah membikin terobosan krusial bagi masa depan kerakyatan rakyat lewat penghapusan PT. Hal itu perlu dirayakan rakyat dan entitas politik nasional sebagai momentum menjemput masa depan kerakyatan nan menghargai bunyi rakyat (vox populi). Pemilu 2029 memang tetap lima tahun lagi, tetapi parpol sekarang bisa segera konsentrasi untuk mempersiapkan kader-kader terbaiknya antara lain dengan serius menyalakan mesin meritokrasi dalam melakukan rekruitmen dan kaderisasi secara objektif, terukur, dan transparan.
Sembari itu, parpol kudu terus menancapkan akar-akar support ideologis dan elektoralnya di seluruh wilayah seiring dengan penguatan kegunaan edukasi, manajemen bentrok dan sarana pastisipasi politik publik, nan terus diprogresifkan. Itu semata-mata agar sensitivitas parpol terhadap kehendak dan aspirasi masyarakat kian terpupuk dengan baik.
Lima tahun bukan waktu nan panjang untuk menggalang support rakyat sekaligus mempersiapkan dan mempromosikan para kader terbaik.
Saatnya bunyi rakyat betul-betul mendapat ruang kultivasinya di setiap lembaga parpol dan ruang kerakyatan pemilu sehingga parpol makin intim dengan (suara) rakyat dan mobilitas kerakyatan bangsa ini bisa menerbitkan optimisme dan support positif dari seluruh rakyat.