Mk Tolak Permohonan Warga Tidak Beragama Diakui Dalam Uu Administrasi Kependudukan, Sebab...

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Universodelibros.com, Jakarta - Permohonan uji materi nan mengusulkan agar penduduk negara nan tidak berakidah diakui dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) ditolak oleh Mahkamah Konstitusi disingkat MK.

“Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 146/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, pada Jumat, 3 Januari 2024, seperti nan dikutip Antara.

Baca buletin dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam perkara ini, dua penduduk negara nan mengaku tidak memeluk kepercayaan alias kepercayaan tertentu, Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto, mempertanyakan ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Pasal 61 ayat (1) mengatur tentang kartu family (KK), sementara Pasal 64 ayat (1) mengenai dengan kartu tanda masyarakat (KTP). Kedua pasal nan diuji ini mengatur adanya kolom kepercayaan alias kepercayaan dalam KK dan KTP.

Para pemohon beranggapan bahwa semestinya info kependudukan dalam KK dan KTP tidak mencantumkan kolom kepercayaan alias kepercayaan bagi penduduk negara nan memilih untuk tidak memeluk kepercayaan alias mengikuti kepercayaan tertentu. 

Namun, mengenai dengan argumen tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa kebebasan berakidah nan dijamin oleh konstitusi Indonesia tidak mencakup kewenangan bagi penduduk negara untuk tidak memeluk kepercayaan alias tidak menganut kepercayaan terhadap Tuhan nan Maha Esa. 

Menurut Mahkamah, konstitusi negara telah membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa nan berakidah alias mempunyai kepercayaan terhadap Tuhan nan Maha Esa. Oleh lantaran itu, untuk mewujudkan karakter bangsa tersebut, terdapat norma dalam UU Adminduk nan mewajibkan setiap penduduk negara untuk mencantumkan alias mendaftarkan kepercayaan alias kepercayaan nan mereka anut.

Lebih lanjut, tanggungjawab bagi penduduk negara Indonesia untuk menyatakan memeluk kepercayaan alias kepercayaan tertentu adalah suatu perihal nan tidak dapat dihindari, sesuai dengan angan Pancasila dan petunjuk konstitusi. Mahkamah beranggapan bahwa pembatasan ini berkarakter proporsional dan tidak dilakukan secara opresif alias sewenang-wenang. 

Hal ini dikarenakan setiap penduduk negara hanya diwajibkan untuk menyebut kepercayaan dan kepercayaannya, nan kemudian bakal dicatat dan dimasukkan dalam info kependudukan, tanpa adanya tanggungjawab norma lainnya.

“Tidak berakidah alias tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan nan Maha Esa tidak dapat dinilai sebagai kebebasan berakidah alias kebebasan menganut kepercayaan terhadap Tuhan nan Maha Esa,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan putusan.

Pada 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan mengenai Pasal 61 UU No. 23/2006 dan Pasal 64 UU No. 24/2013 nan mewajibkan pengisian kolom kepercayaan di KTP. Keputusan ini memungkinkan penganut kepercayaan untuk mencantumkan aliran kepercayaan di kolom kepercayaan saat membikin KTP. MK menyatakan bahwa kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat secara hukum, sepanjang tidak termasuk kata "kepercayaan."

Empat penganut kepercayaan nan menggugat adalah Ngaay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. MK menegaskan bahwa kewenangan untuk menganut kepercayaan alias kepercayaan merupakan kewenangan konstitusional penduduk negara dan bukan pemberian negara. Keputusan ini menghapus pembatasan kewenangan berakidah pada kepercayaan nan diakui negara.

Arnol Purba, salah satu penggugat, merasa puas dengan putusan ini lantaran anaknya nan berprestasi sekarang mempunyai kesempatan nan lebih baik dalam pekerjaan, setelah KTP-nya tidak lagi bercap strip. Pemerintah sebagai pihak tergugat tidak datang dalam sidang MK tersebut.

Kodrat Setiawan turut berkontribusi dalam penulisan tulisan ini. 
Pilihan editor: MK Hapus Presidential Threshold Membuka Lebar Kandidat Pilpres