PERSIDANGAN dugaan korupsi di PT Timah Tbk memunculkan pertanyaan mengenai metode kalkulasi kerugian lingkungan nan dilakukan pihak penuntut. Penasehat norma Junaedi Saibih menekankan pentingnya keterlibatan mahir nan relevan, seperti mahir pengetahuan bumi untuk menilai akibat tambang secara akurat.
“Interpretasi gambaran satelit atas bukaan tambang semestinya dilakukan oleh mahir geologi, bukan mahir kehutanan,” kata Junaedi, melalui keterangannya, Minggu (22/12).
Ia mempertanyakan kecermatan kalkulasi nan dilakukan oleh ahli forensik api di Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Bambang Hero Saharjo, nan menyatakan total bukaan tambang pada 2019-2020 mencapai 170.363 hektare dengan kerugian lingkungan mencapai Rp171 triliun.
Menurut Junaedi, info justru menunjukkan bahwa kebanyakan area terbuka akibat aktivitas tambang PT Timah Tbk telah terjadi sebelum Januari 2015.
Pada periode 2015-2022, luasan bukaan hanya 5.658,30 hektare alias 10,86% dari total area. “Ini membantah tuduhan jaksa bahwa aktivitas tambang masif terjadi pada 2015-2022,” jelasnya.
Junaedi menilai, metode kalkulasi kerugian nan dilakukan tidak relevan. Ia berpandangan ada kecenderungan mencampuradukkan keilmuan, nan dapat menimbulkan keraguan terhadap objektivitas proses hukum.
“Menugaskan mahir kehutanan untuk menghitung kerugian di wilayah pertambangan adalah praktik nan mengabaikan prinsip keilmuan,” ujar Junaedi.
Ia menambahkan, kalkulasi kerugian lingkungan sudah semestinya menjadi domain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), nan mempunyai tupoksi dalam studi kepantasan tambang.
Ahli lain, Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof. Dr. Sudarsono Soedomo, nan memberikan keterangan di persidangan, menguatkan pandangan tersebut.
“Pemerintah sudah menghitung akibat tambang terhadap lingkungan dan ekonomi sebelum memberikan izin usaha. Hal ini dilakukan melalui cost-benefit analysis untuk memastikan akibat positif lebih besar daripada akibat negatif,” jelasnya.
Junaedi juga mempertanyakan apakah langkah ini betul-betul untuk penegakan norma alias justru didorong oleh ambisi tertentu.
“Jika aspek keilmuan diabaikan, proses norma bisa terkesan hanya mengejar ambisi tertentu dan mencederai prinsip keilmuan nan diwariskan secara turun-temurun,” katanya.
Ia meminta majelis pengadil untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan, mengingat perbedaan pendapat antara mahir pengetahuan bumi dan mahir kehutanan.
“Ini bukan sekadar soal angka, tetapi soal memastikan bahwa penilaian dilakukan oleh pihak nan kompeten di bidangnya,” pungkasnya.
Sidang ini bakal menjadi ujian krusial dalam memastikan bahwa penegakan norma melangkah sesuai dengan prinsip keilmuan dan tidak menimbulkan keraguan publik. (M-3)