Merahasiakan Nasab

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
Merahasiakan Nasab Ono Sarwono Penyuka Wayang(MI/Ebet)

PENYAKIT sosial ini bukan rahasia lagi, ialah orang nan mengaku-aku nasabnya (keturunan) tokoh terkemuka. Tentu itu untuk mendapat privilese (keuntungan) dari masyarakat. Memang bukan kriminal, tapi pengelabuhan publik nan meresahkan.

Banyak warga, lantaran keterbatasan pengetahuan alias aspek lain, memercayainya. Mereka menghormati dan menyanjung. Juga membenarkan apa pun omongannya. Bahkan mengikuti perintah dan perilakunya meskipun buruk dan tak masuk akal.

Dalam pakeliran, ada orang (keluarga) nan betul-betul keturunan raja besar, tetapi tidak suka mengabarkan 'darah birunya'. Ke mana-mana mengaku rakyat jelata, bukan siapa-siapa. Identitas sejatinya baru terkuak gara-gara dari sikap kesatrianya.

Tinggal di Saptapratala

Keluarga nan merahasiakan jati dirinya itu lima berkerabat nan dikenal dengan julukan Pandawa. Mereka tak mau mendapat perlakuan unik masyarakat lantaran status mereka. Keberadaannya tidak mau dikait-kaitkan dengan nenek moyang mereka.

Kisah sikap mulianya itu antara lain terlukis ketika Pandawa berbareng Kunti Talibrata, ibunya, terlunta-lunta setelah selamat dari peristiwa pembunuhan keji. Mereka melangkah sak-paran-paran (tanpa tujuan) menghindari perilaku setan.

Ceritanya, pada malam sebelum menerima estafet kepemimpinan (takhta) Astina dari Drestarastra, Pandawa sengaja dihabisi. Saat itu, Kurawa, diotaki Sengkuni, membumihanguskan Bale Sigala-gala, tempat penginapan Kunti dan Pandawa.

Sanghyang Anantaboga menyelamatkan Kunti dan Pandawa. Istri mendiang Raja Astina Prabu Pandu Dewanata dan lima anak tersebut diungsikan ke Kahyangan Saptapratala, lapisan ketujuh bumi. Di sana mereka menenangkan hati dan pikiran.

Pada suatu hari, Kunti matur kepada Anantaboga mau meninggalkan Saptapratala berbareng putra-putranya. Ia berterima kasih atas pertolongannya sehingga luput dari maut dalam peristiwa Bale Sigala-gala nan dibakar Kurawa.

Anantaboga tak kuasa mencegah, apalagi kepada menantunya, Bratasena, nan menikahi putrinya, Dewi Nagagini. Lelaki besar dan gagah perkasa itu terpaksa meninggalkan istrinya nan sedang mengandung demi membersamai Pandawa.

Sejak lolos dari upaya pembunuhan, Puntadewa dan adiknya, ialah Bratasena, Permadi, Tangsen, dan Pinten, berkomitmen tetap bersama-sama dalam keadaaan apa pun. Sesantinya tijitibeh, ialah mati siji meninggal kabeh, mukti siji mukti kabeh.

Maknanya, Pandawa adalah satu kesatuan family nan utuh, tak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Jika ada satu nan susah alias mati, semua ikut menderita dan memihak mati. Juga andaikan salah satu bahagia, nan lain juga kudu berbahagia.

Setelah meninggalkan Saptapratala, Kunti dan Pandawa melangkahkan kaki tanpa tujuan pasti. Mereka tidak lagi mau kembali ke Istana Astina lantaran tempat tinggalnya itu telah diduduki Kurawa.

Keluar-masuk dusun

Mereka masuk dusun satu ke dusun lain. Tidak ada satu pun penduduk nan tahu dan mengira bahwa ibu paruh baya berbareng lima anak itu permaisuri raja dan pangeran. Para ‘darah biru’ itu tidak pernah menunjukkan sebagai ningrat.

Dari rumor nan tersebar, rakyat Astina tahunya Kunti dan Pandawa sudah meninggal. Apalagi sudah lama tidak ada kabarnya pascakebakaran Bale Sigala-gala. Jadi tak terlintas dalam akal masyarakat bahwa orang-orang terhormat itu tetap hidup.

Kepada semua orang nan ditemui, Kunti mengaku janda ditinggal meninggal suami. Adapun lima anak laki-laki nan bersamanya adalah putranya. Apalagi dengan busana seadanya sehingga penduduk memandang enam orang itu kaum duafa.

Untuk urusan makan, setiap hari Bratasena dan Permadi bekerja mencari nafkah. Sementara itu, tempat tinggalnya, mereka bermalam di rumah penduduk nan rela diinapi. Demi keamanan, Kunti dan Pandawa berpindah-pindah dari dusun satu ke dusun lainnya.

Pada suatu ketika, family ‘fakir-miskin’ itu sampai ke wilayah kedaulatan negara Ekacakra. Mereka masuk Dusun Manahilan nan berdekatan dengan perbatasan Astina. Kunti dan putranya mampir ke rumah penduduk berjulukan Ijrapa.

Ketika itu, hujan deras disertai angin kencang hingga sore hari. Ijrapa dan istrinya menawari menginap kepada tamu mereka. Melihat ketulusan tuan rumah, Kunti menyampaikan terima kasih atas kebaikan Ijrapa dan keluarga.

Menjelang awal hari, ketika Pandawa terlelap, Kunti tetap terjaga. Ijrapa kemudian menanyakan kenapa tidak tidur. Dijelaskan tidak ada apa-apa kerena belum mengantuk saja. Ijrapa tidak puas dengan jawaban itu.

Dialog terus bersambung hingga akhirnya Ijrapa tahu dan kaget bahwa rupanya Kunti permaisuri Prabu Pandu nan sangat dikagumi. Ia tak mengira istri Pandu dan putra-putranya mengalami penderitaan akibat kejahatan Kurawa.

Pada malam itu juga, Kunti baru mengetahui bahwa Ijrapa sekeluarga murung lantaran besok hari kudu mengorbankan anaknya, Rawan, sebagai santapan penguasa Ekacakra, Prabu Baka. Raksasa itu doyan makan daging anak muda.

Kunti meminta Ijrapa sekeluarga tidak cemas. Anaknya nan berbadan tinggi dan besar dipersilakan diserahkan kepada Baka. Semula ditolak lantaran tak mau orang lain susah, tapi setelah diyakinkan tidak bakal terjadi apa-apa, tawaran diterima.

Lenyapkan Baka

Pagi harinya, Ijrapa menyerahkan ‘anak’ kepada Baka di istananya. Betapa gembiranya raksasa kanibal memandang menu sarapannya begitu besar. Terdorong rasa lapar, Baka segera meringkus, tapi calon korban melawan dengan tendangan.

Singkat cerita terjadi perkelahian sengit dan akhirnya Baka meninggal di tangan pemuda nan berjulukan Bratasena itu. Dengan lenyapnya penguasa galak tersebut, rakyat Ekacakra bersukaria. Bratasena diulu-elukan sebagai pahlawan.

Setelahnya, Kunti dan Pandawa minta izin pergi melanjutkan laku. Dengan tetesan air mata, Ijrapa sekeluarga dan penduduk Manahilan melepas mereka disertai angan agar senantiasa dilimpahi rahmat sang Mahakuasa. (M-3)