PRESIDEN keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid, alias nan berkawan disapa Gus Dur, adalah sosok nan dikenang sebagai pejuang pluralisme dan demokrasi.
Kini, Presiden Prabowo Subianto berencana menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur, sebuah penghormatan nan mencerminkan kontribusinya dalam membangun Indonesia nan inklusif dan toleran.
Masa Kecil dan Pendidikan Gus Dur
Lahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur, Gus Dur tumbuh dalam lingkungan family ustadz Nahdlatul Ulama (NU). Ayahnya, KH Wahid Hasyim, adalah Menteri Agama pertama RI sekaligus putra pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari. Sementara ibunya, Hj. Sholehah, berasal dari keturunan KH Bisri Sansuri, tokoh besar NU lainnya.
Gus Dur bercita-cita menjadi personil ABRI di masa kecil, tetapi kemauan itu pupus ketika dia kudu mengenakan kacamata pada usia 14 tahun. Namun, perihal tersebut tidak menghentikan semangat belajarnya. Ia menempuh pendidikan di beragam pesantren, termasuk Pesantren Tebuireng, Tegalrejo, dan Tambak Beras, nan membentuknya menjadi pribadi toleran dan berpikiran terbuka.
Pengembaraan Akademik dan Pemikiran Global
Pada usia 22 tahun, Gus Dur melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Selama belajar di sana, dia terlibat aktif dalam organisasi pelajar Indonesia dan terpapar beragam pemikiran dunia mengenai demokrasi, pluralisme, dan kewenangan asasi manusia.
Setelah menyelesaikan studi di Mesir, dia melanjutkan pendidikan ke Baghdad dan kemudian ke Eropa. Di Belanda, Gus Dur mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia, wadah obrolan nan mempertemukan pemikiran Islam modern dengan tantangan global.
Kiprah Gus Dur di Dunia Politik dan Demokrasi
Kembali ke Indonesia pada 1970-an, Gus Dur mulai dikenal sebagai intelektual nan kritis. Pada 1984, dia terpilih sebagai Ketua Umum PBNU dan memimpin organisasi tersebut menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Di bawah kepemimpinannya, Gus Dur mempromosikan inklusivitas dan toleransi antarumat beragama. Meski sering mengkritik kebijakan Orde Baru, dia tetap konsisten dalam memperjuangkan hak-hak minoritas dan kebebasan berpendapat. Salah satu langkah kontroversialnya adalah kunjungannya ke Israel pada 1994 nan memicu pro dan kontra.
Saat menjabat sebagai Presiden RI (1999–2001), Gus Dur menghapuskan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, mencabut larangan penggunaan bahasa Mandarin, dan memperjuangkan kebebasan pers. Ia memimpin bangsa di tengah krisis politik dan ekonomi, membawa Indonesia menuju kerakyatan nan lebih matang.
Warisan Gus Dur untuk Indonesia
Gus Dur meninggal bumi pada 30 Desember 2009, meninggalkan warisan besar bagi Indonesia. Sebagai tokoh pluralisme, dia mengajarkan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan hambatan.
Penghargaan gelar Pahlawan Nasional nan direncanakan oleh Presiden Prabowo adalah pengakuan atas dedikasi Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi, kewenangan asasi manusia, dan keberagaman. Penghormatan ini juga menjadi pengingat bagi bangsa Indonesia untuk melanjutkan perjuangan Gus Dur dalam membangun negara nan adil, demokratis, dan toleran.