Konflik Israel-Hamas dan Mengapa Tak Ada Kesepakatan

Konflik Israel-Hamas dan Mengapa Tak Ada Kesepakatan

Selama beberapa bulan terakhir, harapan akan terjadinya gencatan senjata di Jalur Gaza terus muncul, namun harapan itu selalu kandas. Israel dan Hamas tampaknya telah menyepakati poin-poin utama kesepakatan, tetapi mereka terus berselisih tentang bagaimana kesepakatan itu akan dijalankan. Sudah 10 bulan perang yang melelahkan di Gaza berlangsung dengan cerita yang sama berulang: Para pejabat mengumumkan bahwa perjanjian gencatan senjata – yang akan menjamin berakhirnya pertempuran, keselamatan warga sipil Palestina, dan pembebasan sandera Israel yang ditahan di Gaza – sudah di depan mata.

Namun, beberapa hari atau beberapa jam kemudian, pihak lain menyatakan bahwa perundingan gencatan senjata telah menemui hambatan dan potensi kesepakatan kembali gagal. Yang terbaru Jumat (16/8/2024) kemarin saat Hamas menyatakan, kelompok itu menolak persyaratan baru dalam proposal gencatan senjata di Gaza yang disampaikan mediator pimpinan Amerika Serikat (AS). Hal itu disampaikan Hamas dalam perundingan yang digelar di Qatar selama dua hari. Padahal sebelumnya sudah terbentuk optimisme, gencatan senjata yang akan segera terwujud.

Bersamaan dengan berbagai kegagalan itu biasanya terjadi saling tuding, dari pemerintah Israel maupun dari kelompok Hamas, bahwa pihak seberang menghalangi kesepakatan dengan membuat tuntutan yang tidak masuk akal dan melakukan perubahan pada menit-menit terakhir. Sebenarnya, sebuah kerangka dasar untuk gencatan senjata sudah ada dan tampaknya, sebagian besar, telah disetujui oleh Israel dan Hamas.

Perang Hamas-Israel saat ini dimulai pada 7 Oktober 2023 ketika kelompok Hamas yang berbasis di Gaza menyerang wilayah Israel selatan yang mengakibatkan kematian sekitar 1.200 warga Israel. Lebih dari 200 orang disandera. Sebagai balasan, dalam waktu beberapa bulan setelahnya, operasi militer Israel di Gaza telah menewaskan hampir 40.000 warga Palestina, sebagian besar warga sipil, dan membuat sebagian besar dari 2,3 juta penduduk di wilayah itu harus mengungsi.

Putaran terakhir perundingan gencatan senjata dimulai pada Mei lalu dan sejak itu, para perunding dari sejumlah negara, termasuk AS, Qatar, dan Mesir, telah berusaha meyakinkan Israel dan Hamas untuk menyepakati cara kerja kesepakatan tersebut. Pada 31 Mei 2024, Presiden AS, Joe Biden, menguraikan sebuah kerangka kerja perjanjian gencatan senjata secara rinci. Biden mengatakan kerangka itu didasarkan pada usulan Israel. Meskipun Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan bahwa kerangka yang diajukan Biden itu “tidak dapat diterima”, para perunding Israel terus berupaya untuk membahas hal tersebut.

Kesepakatan yang diajukan Biden itu hampir identik dengan proposal gencatan senjata yang disetujui Hamas, sebagai dasar negosiasi, pada awal Mei. Pada bulan Juni, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 2735, yang juga mengikuti garis besar kerangka yang diumumkan Biden, meskipun dalam istilah yang tidak terlalu rinci. Premis utamanya adalah bahwa gencatan senjata akan dilaksanakan dalam tiga tahap, dengan dua tahap pertama masing-masing berlangsung sekitar enam minggu, dan tahap terakhir mencakup rekonstruksi wilayah Gaza yang akan membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Tahap Pertama: Dalam enam minggu pertama gencatan senjata, akan ada “penghentian sementara” operasi militer yang dilakukan Israel dan Hamas. Pasukan Israel akan mundur secara bertahap, dan warga Palestina yang mengungsi dapat kembali ke rumah mereka. Bantuan kemanusiaan akan diizinkan masuk ke Gaza, dan gelombang pertama sandera Israel akan ditukar dengan tahanan Palestina. Sandera Israel mencakup perempuan (termasuk tentara), anak-anak, orang tua dan orang sakit. Mereka akan ditukar dengan ratusan tahanan Palestina, kebanyakan perempuan, anak-anak, orang tua atau orang sakit.

Tahap Kedua: Negosiasi mengenai tahap kedua gencatan senjata akan dimulai pada tahap pertama. Bantuan untuk menampung dan memberi makan sekitar dua juta warga Palestina yang mengungsi akan terus berlanjut, dan rencana untuk membangun kembali infrastruktur Gaza yang hancur akan dimulai. Pembatasan oleh pihak Israel di penyeberangan Rafah, perbatasan antara Mesir dan Gaza, akan dilonggarkan. Pada tahap kedua itu, sisa sandera Israel lainnya – warga sipil dan tentara laki-laki – akan ditukar. Namun sebelum hal itu bisa terjadi, rencana tiga tahap itu menyatakan harus “terjadi ketenangan berkelanjutan yang telah dipulihkan (penghentian permanen operasi militer dan permusuhan)”.

Tahap Ketiga: Tahap ketiga akan mencakup rekonstruksi umum wilayah Gaza selama beberapa tahun. Jenazah dari orang-orang yang meninggal di kedua belah pihak akan dikembalikan. Ada juga sejumlah aspek lain dalam perjanjian gencatan senjata yang dimaksudkan untuk memengaruhi Israel atau Hamas. Misalnya, menurut harian AS, The Washington Post, terdapat diskusi mengenai penarikan kelompok Hezbollah yang bermarkas di Lebanon dari perbatasan Israel-Lebanon, serta potensi Arab Saudi menormalisasi hubungan dengan Israel.

Ada juga laporan bahwa Qatar – negara Teluk tempat sayap politik Hamas bermarkas – telah menekan kelompok itu dengan mengancam akan mengusir mereka dari Qatar. Namun masih ada bagian-bagian tertentu dari kerangka dasar itu yang tidak dapat disepakati oleh kedua belah pihak. Ada yang sudah diketahui banyak kalangan, ada pula yang kurang dipublikasikan. Misalnya, para perunding berbicara tentang tenggat waktu yang berbeda-beda dan perbedaan pendapat mengenai nama-nama dan jumlah sandera yang dibebaskan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *