INDONESIA dikenal sebagai negara nan rawan bencana alam. Setiap tahun, Indonesia menghadapi beragam ancaman seperti gempa bumi, banjir, erupsi gunung berapi, dan cuaca ekstrem. Tantangan ini menuntut adanya kesiapsiagaan nan solid dari seluruh komponen masyarakat. Salah satu kunci krusial dalam menghadapi musibah adalah komunikasi akibat musibah nan efektif.
Namun, komunikasi akibat di Indonesia tetap menghadapi tantangan besar, terutama di daerah-daerah terpencil nan minim akses terhadap prasarana komunikasi. Padahal, info nan jeli dan tepat waktu sangat diperlukan agar masyarakat bisa memahami akibat nan mereka hadapi serta mengetahui langkah-langkah pencegahan nan kudu diambil.
Komunikasi nan efektif bukan hanya soal memberikan informasi, tetapi juga soal membangun kepercayaan. Dalam situasi darurat, masyarakat perlu mendapat info nan dapat dipahami dengan mudah agar mereka bisa membikin keputusan nan tepat dan melindungi diri sendiri serta orang di sekitarnya.
Pengalaman dari erupsi Gunung Kelud pada 2014 mengajarkan bahwa sistem komunikasi musibah nan kuat sangat penting. Saat itu, BNPB mulai menyusun draft Rencana Induk Sistem Komunikasi Bencana untuk periode 2014-2019. Namun, hingga sekarang arsip ini belum diperbarui dan diimplementasikan sepenuhnya.
Pada 2022, saat Indonesia menjadi tuan rumah Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) di Bali, pentingnya strategi nasional komunikasi akibat kembali diangkat. BNPB, bekerja sama dengan UN OCHA dan BBC Media Action, menekankan bahwa strategi ini kudu mencakup semua komponen masyarakat, termasuk golongan rentan seperti masyarakat adat, penyandang disabilitas, dan masyarakat di wilayah terpencil.
Strategi nasional ini diharapkan menjadi pedoman bagi beragam kementerian dan lembaga dalam melaksanakan komunikasi akibat bencana. Tanpa kerangka kerja nan jelas, upaya mitigasi dan respons musibah bisa terhambat.
Untuk itu, A-PAD Indonesia berbareng Yayasan Skala Indonesia, United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs, dan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya menyerahkan Rekomendasi Komunikasi Risiko Kebencanaan (Recommendation for Risk Communication) kepada pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Rekomendasi ini dihasilkan setelah melalui beragam obrolan penjang, termasuk FGD, desk research, dan obrolan informal lainnya nan dilaksanakan di beragam tempat. Diskusi ini dilakukan dengan mengundang beragam pihak terkait, organisasi masyarakat sipil, akademisi, para ahli, dan mendengar dari pemerintah.
Beberapa rekomendasi krusial nan perlu diperhatikan BNPB di antaranya BNPB kudu memastikan seluruh wilayah, terutama nan rawan bencana, mempunyai akses ke teknologi komunikasi nan memadai, termasuk sistem peringatan awal nan andal.
Pelatihan mengenai komunikasi akibat musibah kudu diperluas, mencakup staf internal BNPB, petugas lapangan, hingga mitra di tingkat daerah. Penggunaan teknologi terkini dalam penyebaran info juga perlu ditingkatkan.
Kemudian, koordinasi antara BNPB dan beragam kementerian lainnya perlu diperkuat untuk memastikan aliran info nan cepat, tepat, dan dapat diandalkan selama musibah terjadi.
Selain BNPB, beberapa kementerian dan lembaga lain juga mempunyai peran krusial dalam mengelola komunikasi akibat musibah seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika nan kudu memperkuat izin mengenai penyebaran informasibencana melalui platform digital dan media massa. Kominfo juga perlu memastikan akses info hinggake daerah-daerah terpencil.
Selain itu, BMKG, PVMBG, dan Kementerian PUPR nan bertanggung jawab dalam pemantauan ancaman bahaya alam seperti gempa bumi dan cuaca ekstrem. Mereka kudu memperkuat koordinasi dalam berbagi info dan memastikan info bisa segera diakses oleh masyarakat.
Terakhir adalah Kementerian Sosial (Kemensos nan kudu memastikan bahwa info akibat musibah dapat diakses oleh golongan rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.
Edukasi
Selain pemerintah, LSM, sektor swasta, dan media massa juga berkedudukan krusial dalam mendukung komunikasi akibat bencana. LSM dapat membantu mengedukasi masyarakat tentang kesiapsiagaan, sementara sektor swasta bisa berkontribusi melalui penyediaan prasarana teknologi alias support lainnya.
Media massa mempunyai tanggung jawab besar dalam memastikan info nan disampaikan kepada publik jeli dan tidak menimbulkan kepanikan. Kerja sama antara media dan pemerintah menjadi sangat krusial dalam melawan penyebaran info nan salah alias hoaks saat musibah terjadi.
Selama beberapa tahun terakhir, kebutuhan bakal komunikasi krisis kebencanaan menjadi semakin mendesak. Berbeda dengan komunikasi akibat nan lebih berfokus pada kesiapsiagaan, komunikasi krisis lebih menitikberatkan pada respons saat musibah terjadi.
Berdasarkan lebih dari 10 obrolan nan dilakukan sejak akhir 2022 hingga Agustus 2024, masyarakat sipil merekomendasikan agar BNPB segera menyusun Peraturan Manajemen Komunikasi Krisis. Diskusi ini melibatkan beragam pihak, termasuk relawan, akademisi, hingga master komunikasi.
Indonesia memerlukan strategi komunikasi akibat dan krisis nan solid untuk melindungi masyarakatnya dari akibat jelek bencana. Kolaborasi antara pemerintah, LSM, sektor swasta, dan media sangat krusial dalam memastikan info nan jeli dan tepat waktu sampai ke tangan masyarakat. Dengan memperkuat prasarana komunikasi, pelatihan, dan koordinasi antar-lembaga, Indonesia bisa lebih siap menghadapi beragam ancaman musibah di masa depan. (H-2)