Kebijakan Ppn 12%, Jalan Pintas Berisiko Tinggi

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
Kebijakan PPN 12%, Jalan Pintas Berisiko Tinggi Massa tindakan generasi Z dan millenial berunjuk rasa menolak kenaikan PPN 12 persen di area Selayang Pandang, depan Istana Negara, Kamis (19/12/2024).(MI/USMAN ISKANDAR)

PEMERINTAH memutuskan untuk melanjutkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai Januari 2025, setelah sebelumnya meningkatkan tarif menjadi 11% pada April 2022. Kebijakan ini menggantikan tarif PPN 10 persen nan telah bertindak sejak 1983. 

Pengecualian kenaikan tarif PPN hanya bertindak untuk tiga jenis barang, ialah tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng curah Minyak Kita, nan tetap dikenakan tarif PPN sebesar 11%.

Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai kebijakan itu sebagai jalan pintas untuk meningkatkan penerimaan perpajakan nan stagnan dalam satu dasawarsa terakhir. "Tax ratio pada 2023 hanya sebesar 10,23% dari PDB, apalagi lebih rendah dibandingkan awal pemerintahan Presiden Jokowi pada 2015 nan sebesar 10,76% dari PDB," ujarnya dikutip dari siaran pers, Senin (23/12). 

Kenaikan tarif PPN menjadi 12% diharapkan dapat mendongkrak penerimaan PPN dalam negeri nan menjadi tulang punggung pendapatan negara. Pascakenaikan tarif dari 10% menjadi 11% pada 2022, penerimaan PPN meningkat dari 3,25% dari PDB pada 2021 menjadi 3,51% dari PDB pada 2022, dan terakhir menjadi 3,62% dari PDB pada 2023. 

Namun, peningkatan ini diikuti oleh stagnasi dan penurunan keahlian penerimaan Pajak Penghasilan (PPh). Penerimaan PPh nan sebelumnya meningkat dari 4,10% dari PDB pada 2021 menjadi 5,10% dari PDB pada 2022, stagnan di 5,03% pada 2023, dan diproyeksikan turun menjadi 4,70% dari PDB pada 2024.

"Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 semestinya dibatalkan. Tambahan penerimaan dari kenaikan tarif ini berpotensi tidak sepadan dengan dampaknya, mulai dari semakin lemahnya daya beli masyarakat, potensi inflasi, hingga meningkatnya kesenjangan ekonomi," kata Yusuf. 

Berdasarkan Perpres No. 76/2023 dan Perpres No. 201/2024, pemerintah menargetkan kenaikan penerimaan PPN dan PPnBM sebesar Rp61,5 triliun pada 2024. Dengan kenaikan tarif menjadi 12%, sasaran tersebut diharapkan naik menjadi Rp133,8 triliun pada 2025.

Sebagian besar kenaikan sasaran pendapatan PPN 2025 berasal dari PPN dalam negeri, nan diproyeksikan naik sebesar Rp115,7 triliun, dibandingkan kenaikan Rp31,0 triliun pada 2024. Ironisnya, sasaran pendapatan PPnBM dalam negeri justru turun Rp9,8 triliun. 

"Secara implisit, sasaran kenaikan pendapatan PPN dalam negeri nan tinggi sebagian adalah untuk mengompensasi penurunan sasaran pendapatan PPnBM dalam negeri," terang Yusuf.

Dia juga menyoroti akibat kenaikan tarif PPN pada daya beli masyarakat, terutama kelas bawah dan menengah. "Dengan kesenjangan ekonomi nan tinggi, optimasi penerimaan PPN semestinya dilakukan tanpa meningkatkan tarif. Pemerintah perlu konsentrasi pada pemberantasan kejahatan perpajakan, seperti penggelapan omset penjualan dan restitusi fiktif, daripada membebankan tarif lebih tinggi kepada masyarakat," tambahnya.

Kebijakan meningkatkan tarif PPN di tengah penurunan sasaran pendapatan PPnBM dinilai kontradiktif. PPN, menurut dia, semestinya menjadi perangkat untuk menciptakan keadilan fiskal, bukan sekadar sarana untuk mengejar penerimaan negara.

"Ironis jika pemerintah justru menurunkan sasaran pendapatan PPnBM nan sejatinya ditujukan untuk peralatan mewah," pungkas Yusuf. (H-2)