Kebijakan Gagah Olahraga Daerah

Sedang Trending 2 minggu yang lalu
Kebijakan Gagah Olahraga Daerah (MI/DUTA)

TERDAPAT cukup banyak argumen bagi bangsa Indonesia untuk membuka lembaran baru 2025 dengan nuansa kegagahan, terutama dalam membangun masa depan olahraga. 

Secara momentum, awal 2025 merupakan entry point yang mempertemukan dua ekspektasi besar. Pertama, setiap wilayah (provinsi/kabupaten/kota) per Februari 2025 mendatang mempunyai kepala wilayah baru nan terpilih melalui proses pilkada serentak pada 27 November 2024 nan lalu. Terdapat 38 gubernur dan 514 bupati/wali kota baru nan berkomitmen dan langkah memajukan wilayah masing-masing dalam koridor NKRI. 

Kedua, bahwa pada penghujung 2024, organisasi olahraga beserta segenap publik di wilayah berekspektasi kuat agar sesegera mungkin mempunyai rencana induk pembangunan olahraga wilayah nan disebut Desain Olahraga Daerah (DOD). Ekspektasi publik untuk sesegera mungkin mempunyai DOD bakal beramalgamasi dengan panggung baru kekuasaan wilayah demi membangun kemajuan melalui olahraga.

Orientasi sama, langkah beda
Formula terbaik untuk mendapatkan produk pembangunan olahraga nasional nan gemilang adalah dengan langkah menyusun perencanaan strategis secara nasional. Hal tersebut telah mewujud dengan terbitnya Perpres Nomor 86 Tahun 2021 tentang Desain Besar Olahraga Nasional (DBON).

Tujuan utamanya adalah merancang gimana proses dan hasil pembangunan olahraga kudu dikawal. Orientasinya sudah ditentukan, ialah 1) meningkatkan budaya olahraga di masyarakat, 2) mencapai prestasi nasional bergengsi dunia, dan 3) menumbuhkan ekonomi nasional berbasis olahraga. Setiap wilayah terpanggil untuk merancang kebijakan gagah untuk berkontribusi. Intinya, orientasi sama, tapi caranya boleh berbeda berasas karakter masing-masing.

Pertama, bangsa Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman dalam beragam dimensi. Setiap wilayah adalah unik dengan jenis kegeniusan lokal, kearifan lokal, serta beragam aspek kekayaan lokalitas lainnya. Lokalitas nan merupakan daya potensial untuk menggerakkan terwujudnya kelebihan dan daya saing dalam dimensi globalitas.

Diperlukan kecermatan dan keberanian serta rasa percaya diri nan memadai untuk meramu perihal tersebut melalui wadah perencanaan induk olahraga daerah. Daerah sudah semestinya mempunyai elastisitas dan power perencanaan melalui pilihan komplit lingkup olahraga, ialah membangun olahraga pendidikan, olahraga prestasi, dan olahraga masyarakat secara kokoh dan dahsyat.

Kedua, terdapat pekerjaan rumah nan besar nan perlu lebih sungguh-sungguh dikerjakan oleh kabupaten/kota. Pekerjaan rumah sebagai mandatori bagian olahraga, terutama lingkup olahraga prestasi.

Setidaknya ada dua pasal krusial amanah dalam UU 11/2022 tentang Keolahragaan, nan meliputi 1) penyelenggaraan perencanaan, pembinaan, pengembangan, penerapan standardisasi, dan penggalangan sumber daya keolahragaan nan berbasis kelebihan lokal, dan 2) wajib mengelola paling sedikit dua bagian olahraga unggulan nan bertaraf nasional dan/atau internasional.

Sebuah kedahsyatan nan tidak tertandingi oleh negara lain, manakala sejumlah 514 kabupaten/kota melaksanakan pekerjaan rumah itu secara sungguh-sungguh. Berorientasi sama, tapi berkecimpung dengan langkah nan (semestinya) berbeda. Bagaimana peran strategis nan kudu dimainkan oleh setiap provinsi?

Ketiga, terdapat dua orientasi nan dimainkan oleh pemerintah provinsi mengenai dengan pembinaan dan pengembangan olahraga (binbang). Orientasi pertama adalah tentang penerapan standardisasi, ialah orientasi kriteria minimum dalam cakupan standar nasional keolahragaan, meliputi standar kompetensi tenaga keolahragaan, isi program training tenaga keolahragaan, prasarana olahraga dan sarana olahraga, pengelolaan organisasi keolahragaan, penyelenggaraan keolahragaan, dan pelayanan minimal keolahragaan.

Orientasi kedua adalah soal kontribusi dalam mencapai tujuan paripurna olahraga nasional. Artinya, setiap wilayah ditantang berkontribusi untuk meningkatkan budaya olahraga di masyarakat, mengakselerasi prestasi olahraga bergengsi dunia, dan menumbuhkan ekonomi berbasis olahraga.

Format kegagahan
Kebijakan gagah olahraga wilayah bukan berfaedah sebuah sikap ‘gagah-gagahan’ dari setiap wilayah untuk memunculkan dan menonjolkan ‘mentalitas kedaerahan’. Justru kegagahan tersebut berkonotasi sebagai corak penerapan model kontributif sikap citius, altius, fortius dalam perspektif good will setiap pemerintah daerah. Setiap wilayah merasa selalu terpanggil untuk berkontibusi dalam memajukan olahraga nasional dengan langkah memoncerkan potensi unik terbaik nan dimiliki.

Pertanyaan kritisnya tentu adalah gimana format kegagahan itu kudu disiapkan dan gimana kegagahan itu kudu dimulai dan dieksekusi?

Pertama, setiap provinsi memandang urusan olahraga berkarakter sistemik-komprehensif dalam dimensi lengkap input, proses, output, dan outcome.

Kelaziman selama ini, setiap wilayah menggunakan referensi info kuantitatif pemerolehan lencana dan pemeringkatan atas dasar multievent, seperti Porprov, Porwil, dan PON semata.

Dimensi nan terukur sebatas pada dimensi outcome dalam satu lingkup olahraga prestasi saja. Kebijakan (maaf) ‘manipulatif’ kadang ‘terpaksa’ dipilih jika segala sesuatunya berbasis pada simplifikasi sasaran dan batas waktu. Sumber daya finansial nan surplus pun acap kali terdistorsi untuk memproduksi outcome secara instan.

Fenomena jual-beli atlet antardaerah pun bakal terus terjadi jika ‘yang krusial outcome-nya dan income-nya’. Adapun gimana wilayah bertumbuh dalam perihal budaya olahraganya maupun revenue generating ekonomi berbasis olahraga tampaknya belum terkenal dalam mengindikasikan kegagahan olahraga daerah.

Kedua, setiap kabupaten/kota mengolah kelebihan lokal serta mengelola minimal dua bagian olahraga unggulan setidaknya bertaraf nasional. Keunggulan lokal olahraga dapat berupa kelebihan geografis, demografis, kultural, historis, evidence capaian prestasi secara existing, ataupun modal-modal sosial nan secara spesifik dimiliki oleh suatu daerah.

Kelaziman selama ini adalah bahwa kelebihan lokal itu satu hal, sementara pembinaan olahraga itu perihal nan lain. Olahraga pun mengerucut pada kesiapan atlet berpotensial nan kemudian dibina dalam sebuah proses teknis menuju kompetisi. Sangat pragmatis dan jikalau berhasil, tentu bakal berpotensi mengalami masa stagnan di masa berikutnya, lantaran tidak mempunyai akar nan kuat dan kurang ter-back up oleh potret kelebihan lokal nan sesungguhnya.

Ketiga, suasana kontribusi nan ditumbuhkan adalah dengan mewujudkan tujuan utama kebijakan nasional keolahragaan (Baca: DBON) di daerah. Menyegerakan penyusunan DOD adalah sebuah pilihan tepat bagi wilayah untuk merencanakan corak riil kontribusi. Di dalam DOD setiap wilayah diwajibkan membentuk ‘tim koordinasi’, baik di provinsi maupun kabupaten/kota.

Satu perihal nan menarik bahwa tim tersebut mengintegrasikan peran sinergi seluruh unsur pentahelix di daerah. Dipimpin oleh unsur birokrat tertinggi di wilayah (sekda provinsi dan kabupaten/kota) serta mengundang peran terbaik unsur akademisi, pengusaha, komunitas, dan media. Kolaborasi nan bukan hanya lengkap, tetapi tentu saja mempunyai nilai kegagahan nan jauh melampaui gagahnya Power Rangers dalam cerita fiksi.