KEMENTERIAN Keuangan buka bunyi soal rincian barang dan jasa premium nan bakal menjadi objek pajak nan dikenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%. Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menyatakan Kemenkeu tengah mengkaji kriteria alias batas barang/jasa tersebut secara hati-hati dengan pihak-pihak terkait.
“Agar pengenaan PPN atas barang/jasa tertentu dengan batas di atas nilai tertentu dapat dilakukan secara tepat sasaran, ialah hanya dikenakan terhadap golongan masyarakat sangat mampu,” kata Dwi, dikutip di Jakarta, Minggu (22/12).
Hingga rincian tersebut dirilis, maka seluruh peralatan kebutuhan pokok dan jasa nan menerima akomodasi pembebasan PPN sebagaimana nan disebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tidak bakal dikenakan PPN.
“Atas seluruh peralatan kebutuhan pokok dan jasa kesehatan/pendidikan pada tanggal 1 Januari 2025 bakal tetap bebas PPN sampai diterbitkannya peraturan terkait,” ujar Dwi.
Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto maupun DPR menyatakan tarif PPN 12% bakal diterapkan secara selektif, utamanya menyasar golongan peralatan mewah.
Dari konvensi pers Senin (16/12), Pemerintah mengumumkan tarif tunggal PPN, ialah sebesar 12%, namun dengan akomodasi pembebasan terhadap peralatan dan jasa kebutuhan pokok serta pajak ditanggung pemerintah (DTP) terhadap tiga komoditas.
Di luar dua golongan itu, tarif PPN nan dikenakan adalah sebesar 12%. Terkait peralatan mewah, pemerintah melakukan penyesuaian terhadap arti peralatan mewah dalam kebijakan PPN 12%.
Dari paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, konsep peralatan mewah selama ini merujuk pada ketentuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), nan terdiri atas dua kelompok, ialah kendaraan bermotor dan non kendaraan bermotor.
Untuk non kendaraan bermotor, rinciannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023, di antaranya kediaman mewah, balon udara, peluru dan senjata api, pesawat udara, serta kapal pesiar mewah.
Adapun dalam konteks PPN 12%, pemerintah memperluas golongan peralatan mewah dengan turut menyasar peralatan kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan nan dikonsumsi oleh kalangan mampu–atau nan disebut oleh Menkeu Sri Mulyani sebagai peralatan dan jasa premium.
Mengacu pada arti di UU HPP, kelompok-kelompok tersebut semestinya mendapat akomodasi pembebasan PPN. Namun, lantaran sifatnya nan premium, pemerintah bakal menarik PPN 12% terhadap peralatan dan jasa tersebut. Sebagai contoh, dalam UU HPP, daging termasuk peralatan kebutuhan pokok nan dibebaskan dari PPN. Namun, daging wagyu dan kobe nantinya bakal termasuk golongan nan dikenakan tarif PPN 12%.
Sama halnya, ikan juga termasuk komoditas nan dibebaskan dari PPN, tetapi salmon dan tuna nan lebih banyak dikonsumsi masyarakat golongan atas bakal diterapkan tarif 12%. Adapun untuk jasa pendidikan, nan termasuk objek pengenaan PPN adalah sekolah dengan iuran tinggi. Untuk jasa kesehatan, jasa VIP menjadi contoh jasa nan dianggap premium.
Listrik pengguna rumah tangga 3500-6600 VA juga bakal dimasukkan dalam objek pajak tarif PPN 12%. Untuk perincian lebih lanjut mengenai peralatan dan jasa nan menjadi objek pajak PPN 12% maupun nan diberikan insentif bakal dituangkan dalam peraturan nan diterbitkan belakangan, bisa berupa peraturan menteri maupun peraturan pemerintah. (Ant/I-2)