PENELITI Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah mempertanyakan vonis 6,5 tahun penjara terhadap Harvey Moeis mengenai dugaan rasuah pengolahan tata niaga komoditas timah di wilayah izin upaya pertambangan PT Timah Tbk. Ia menilai vonis terhadap Harvey Moeis lebih ringan dari tuntutan jaksa nan menuntut 12 tahun penjara.
"Pertama putusan Harvey Moeis memang asing dan di luar ekspektasi publik apalagi putusan itu hanya separuh dari tuntutan jaksa," kata Herdiansyah, kepada Media Indonesia, Senin (23/12).
Ia menyoroti pertimbangan pengadil dalam menjatuhkan vonis kepada Harvey Moeis. Dalam pertimbangannya, pengadil menyebut Harvey Moeis bersikap sopan selama persidangan, tetap punya tanggungan keluarga, dan tidak pernah dihukum.
"Menurut saya jangan sampai kemudian pertimbangan itu menjadi pertimbangan mengurangi hukuman. Padahal kan itu bukan perihal nan substansial. Ini menurut saya membahayakan pemberantasan korupsi di Indonesia dan reaksi publik kudu dilihat sebagai perihal nan mengecewakan," katanya.
Herdiansyah menyebut ringannya vonis terhadap Harvey Moeis ini rawan bagi upaya pemberantasan korupsi. Ia mengatakan balasan nan ringan tidak bakal memberikan pengaruh jera kepada koruptor.
"Pada akhirnya putusan itu tidak memberikan pengaruh jera kepada pelaku korupsi, itu nan berbahaya. Bahkan bukan rawan lagi tapi ini memalukan lantaran pada dasarnya ini semacam insentif bagi koruptor. Kalau semua koruptor diperlakukan seperti ini ya tidak ada pengaruh jera dan itu rawan bagi marwah pemberantasan korupsi di Indonesia," katanya.
"Alasan meringankan balasan apalagi sampai setengah, itu kan memotong separuh dari tuntutan jaksa, itu kan tidak masuk akal. Bukan hanya rawan tapi memalukan. Bagaimana mungkin kita bicara soal pemberantasan korupsi jika kemudian tembok pertahanan terakhir memberikan insentif balasan pada perkara ini," tambahnya.
Sebelumnya, Majelis pengadil menjatuhkan balasan 6,5 tahun penjara kepada terdakwa dugaan rasuah pengolahan tata niaga komoditas timah di wilayah izin upaya pertambangan PT Timah Tbk, Harvey Moeis. Salah satu pertimbangannya ialah lantaran Harvey sopan di persidangan dan punya tanggungan keluarga.
"Sopan di persidangan, mempunyai tanggungan keluarga, terdakwa belum pernah dihukum," kata Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Senin, 23 Desember 2024.
Hakim juga membacakan argumen pemberat hukuman. Hal nan memberatkan balasan hingga dijatuhi vonis tersebut lantaran perbuatan Harvey dilakukan saat negara sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan terhadap korupsi.
Hukuman itu lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung). Jaksa menuntut agar majelis pengadil menjatuhkan balasan 12 tahun penjara kepada Harvey.
Selain pidana, Harvey juga dikenakan denda pidana sebesar Rp1 miliar. Bila tak bisa bayar denda maka diganti balasan penjara selama enam bulan kurungan.
Selain itu, Harvey juga dikenakan balasan bayar duit pengganti sebesar Rp210 miliar. Uang wajib dibayar selama satu bulan setelah putusan berkekuatan norma tetap.
Bila tak menyanggupi membayar, maka diganti balasan penjara tambahan. Yakni, selama dua tahun bui.
Harvey dinilai terbukti melakukan tindakan rasuah itu. Tindakan rasuah nan dilakukan membikin negara merugi Rp300 triliun.
Harvey dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP mengenai dugaan korupsi. Sedangkan mengenai dugaan TPPU, dia dijerat Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(Z-9)