“AS a classroom community, our capacity to generate excitement is deeply affected by our interest in one another, in hearing one another’s voices, in recognizing one another’s presence.” Bell Hooks (1994).
MI/Duta
Bersekolah sejak lama dipercaya sebagai salah satu jawaban atas persoalan ketimpangan. Bersekolah dianggap membikin seseorang semakin terdidik dan mempunyai kesempatan untuk memperbaiki status sosial-ekonomi mereka.
Bersekolah juga dipercaya sebagai jalan untuk 'menjadi manusia nan lebih baik' dengan memahami, menghormati, dan mempraktikkan nilai-nilai luhur nan dipercaya bakal diperlukan dalam kehidupan. Bersekolah adalah langkah untuk lebih berkekuatan dengan langkah memanusiakan manusia. Namun, pada kenyataannya, berguru juga menjadi muasal stratifikasi sosial dan beragam persoalan nan rumit nan tidak manusiawi.
Sistem dan pengelolaan pendidikan tetap diwarnai dengan beragam praktik nan justru tidak memanusiakan dan memberdayakan mereka nan belajar. Guru dan siswa kudu menghadapi beragam belenggu nan menjauhkan mereka dari kesempatan untuk menjadi manusia seutuhnya dan memaksimalkan potensi mereka.
Belenggu kurikulum memaksa siswa untuk hanya mengutamakan capaian-capaian akademik melalui serangkaian tes nan condong seragam, menumpulkan kepekaan mereka terhadap persoalan nyata di sekitar mereka, dan mengesampingkan banyak aspek nonkognitif sebagai manusia. Belenggu nan sama juga memaksa pembimbing terus berkutat dengan sasaran ketuntasan dan beragam beban administratif nan justru menjauhkan kesempatan mereka untuk mencapai potensi maksimal mereka.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, setidaknya beragam upaya perbaikan telah dilakukan. Semangat untuk memberi ruang untuk bermanuver bagi pembimbing dan siswa telah dimulai dan diupayakan. Ide dan praktik Kurikulum Merdeka, misalnya, terlepas dari beragam kritik atas kelemahannya, diinisiasi dengan niatan memberi ruang kebebasan bagi pembimbing dan siswa untuk memilih minat, elastisitas dalam proses belajar mengajar, orientasi pada kerja sama, menumbuhkan etika, dan membangun karakter.
Meskipun dalam penerapannya, beragam kritik, baik dalam tataran konsep maulun filosofi, hingga (terutama) praktik penyelenggaraan tetap terus muncul, Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi optimisme dan kepercayaan melalui semangat bahwa pembimbing dan siswa (seharusnya) merupakan subjek nan aktif dalam proses pembelajaran; sebuah penghargaan terhadap kodrat kemanusiaan.
Tentu saja tetap perlu dibuktikan lebih lanjut apakah skenario pendidikan dengan Kurikulum Merdeka itu bakal menyemai kesempatan bagi mereka nan belajar untuk lebih berkekuatan sebagai manusia.
Salah satu perihal nan perlu dipikirkan dalam upaya menjadikan berguru menjadi sebuah proses belajar nan memberdayakan adalah perubahan langkah pandang dan kualitas guru. Guru adalah komponen krusial dalam kerangka pendidikan nan memberdayakan. Guru perlu memahami bahwa kehadiran mereka dalam proses belajar merupakan kunci untuk memastikan siswa dan diri mereka sendiri menjadi berdaya.
Engaged pedagogy
Dalam pendekatan engaged pedagogy, misalnya, Bell Hooks--salah satu tokoh krusial dalam pendekatan ini--menyatakan lima perihal krusial mengenai dengan proses belajar nan perlu diperhatikan pembimbing (Hooks: 1994).
Pertama, proses mengajar semestinya adalah aktivitas nan menumbuhkan semangat belajar dan kegembiraan. Murid diperlakukan bukan sebagai objek nan datang untuk mengonsumsi pengetahuan secara pasif, melainkan sebagai perseorangan nan berbobot dan perlu untuk turut berperan-serta aktif dalam proses belajar.
Guru membangun hubungan nan baik dengan siswa dan bukan hanya menjejali mereka dengan pengetahuan. Itu disebabkan saat siswa turut terlibat dalam proses belajar, mereka bakal menemukan kegembiraan dalam belajar, situasi nan memungkinkan pertumbuhan intelektual dan spiritual. Kontribusi mereka dalam proses belajar dapat menjadi sumber pembelajaran dan modal terbentuknya organisasi belajar.
Kedua, pembimbing kudu tampil menjadi manusia nan utuh lantaran mereka adalah panutan nan menjadi muasal contoh baik. Bukan hanya mengenai dengan kapabilitas keilmuan, melainkan juga dalam bersikap; pribadi nan sama dalam ucapan dan tindakan. Bahkan di luar konteks kelas dan sekolah.
Ketiga, proses belajar kudu menjadi praktik pembebasan. Proses belajar bukan hanya sekadar proses transfer ilmu, melainkan juga kesempatan untuk menciptakan 'tempat netral dan aman' nan mana semua orang terlibat, berefleksi, mengubah langkah berpikir dan sikap mereka. Guru kudu memastikan keterlibatan siswa dalam proses belajar.
Pendapat nan lahir dari pengalaman dan dibagikan melalui obrolan kolektif menjadi dasar bagi pemikiran kritis, refleksi, dan perubahan positif.
Keempat, proses belajar kudu menjadi sarana bagi siswa untuk mencapai potensi maksimal mereka. Guru dituntut untuk melepaskan pola pikir tradisional nan hanya berfokus pada mengajar nan mana pembimbing dianggap sebagai satu-satunya pemegang otoritas ilmu. Pandangan seperti itu mengabaikan keberanian siswa dalam menyampaikan pendapat dan menegaskan dugaan bahwa mereka tidak berkontribusi dalam pembelajaran. Sebaliknya, pembimbing kudu berkedudukan sebagai pembelajar sejati nan percaya bahwa kesempatan untuk belajar dari siswa selalu terbuka.
Kelima, pembimbing perlu memahami dirinya, apa nan diinginkan, secara bentuk maupun emosional. Memisahkan begitu saja kebutuhan bentuk dan emosi bakal memengaruhi langkah seseorang memperlakukan orang lain. Kesadaran bakal kebutuhan bentuk dan emosi diri bakal membantu pembimbing memilih dan menentukan langkah nan paling tepat dalam memperlakukan murid.
Dengan memahami dan mempraktikkan kelima perihal tersebut, proses belajar mengajar bakal memberi penekanan pada pentingnya menumbuhkan kolaborasi, memastikan kapabilitas intelektual dan spiritual nan bertumbuh, serta hubungan guru-murid nan lebih bermakna. Lalu, apa nan kudu dilakukan untuk memastikan proses belajar nan memberdayakan?
Sekolah nan belajar
Mewujudkan proses belajar sebagai laku pemberdayaan jelas menyaratkan support nan serius dan konstan bagi guru. Hanya dengan menyemai dan menumbuhkan budaya belajar dalam entitas sekolah, support nan diperlukan dapat disediakan.
Sekolah perlu mengambil posisi sebagai organisasi nan memungkinkan seluruh anggotanya mempunyai kemauan belajar dan beralih bentuk secara terus-menerus sesuai dengan tantangan perubahan nan dihadapi. Adaptasi terhadap beragam perubahan memerlukan keluwesan nan memungkinkan sekolah tidak gagap dan menikmati perubahan sebagai bagian dari peneguhan kemauan meraih potensi maksimal bagi seluruh entitas alias setiap pribadi di dalamnya.
Jika sekolah hanya menjalankan kegunaan tradisional sebagai tempat para siswa dan pembimbing mencari pengetahuan dan mengajar, berorientasi pada capaian kognitif semata, menegakkan disiplin nan membabibuta dan tidak menyadari kesempatan bahwa semua orang bisa saling belajar, sesungguhnya sekolah sedang menggerus kemungkinan belajar untuk berkekuatan menjadi tiada.