ADA nan menganggap tidak menghadiri aktivitas di luar jadwal, seperti pernikahan alias pemakaman, sebagai corak menjaga kesehatan mental. Namun, ada juga nan melihatnya sebagai sikap egois.
Tim, seorang pengacara dari Canberra, Australia, mengungkapkan sering menyaksikan banyak orang nan memilih untuk membatalkan rencana.
“Memang kadang itu menjengkelkan, tapi saya mengerti gimana sesuatu nan awalnya terlihat menarik bisa terasa berat saat hari itu tiba. Karena itu, saya mulai menerima bahwa sekitar 50% rencana sosial saya mungkin tidak bakal terlaksana," ungkap Tim.
Banyak orang sekarang semakin sering membatalkan rencana di menit-menit terakhir lantaran kehilangan minat, merasa lelah, kurang motivasi, alias mau melakukan perihal lain. Fenomena ini tampaknya semakin umum terjadi.
“Menurut saya, argumen utama orang enggan terlibat adalah lantaran kelelahan,” kata Tim. “Saya merasa terus-menerus dihujani komunikasi. Sebagian besar aktivitas sosial diadakan malam hari alias akhir pekan, waktu nan semestinya bisa digunakan untuk istirahat. Ketika hari itu tiba, saya sering merasa untuk tidak mau melakukannya.”
Di platform seperti Reddit, banyak orang berbagi cerita tentang kawan dan family nan sering membatalkan rencana di menit-menit terakhir. Pembatalan ini tidak hanya terjadi pada aktivitas mini seperti makan siang alias pertemuan, tetapi juga pada aktivitas krusial seperti perjalanan, konser, ulang tahun, pernikahan, hingga pemakaman.
Beberapa responden dikritik atas perilaku ini menghubungkannya dengan meningkatnya isolasi sosial akibat media sosial dan ponsel pintar. Sikap cuek dalam masyarakat, serta kebiasaan mengutamakan kebutuhan dan kemauan pribadi tanpa memikirkan orang lain.
Kini, membatalkan rencana sering kali dilakukan hanya dengan mengirim pesan singkat, membikin orang tidak perlu menghadapi pihak nan dirugikan. Hal ini dianggap mendorong kebiasaan membatalkan di saat-saat terakhir.
Walau sebagian orang memahami bahwa ketidakpastian dan masalah kesehatan bisa menjadi penyebab, banyak nan merasa bahwa teman-teman mereka mulai memandang hubungan seperti transaksi. Mereka merasa bebas untuk menarik diri kapan saja dan sering kali menggunakan argumen stres alias kesehatan mental untuk menghindari tanggung jawab.
Alasan responden sering membatalkan rencana di detik-detik terakhir
1. Tren Introversi Generasi Z dan Milenial
Andrew, 23, seorang pekerja di bagian telekomunikasi dari Brisbane, mengatakan Generasi Z dan milenial semakin mengagungkan introversi. Introversi adalah kecenderungan kepribadian di mana seseorang lebih menikmati waktu sendirian daripada berada dalam keramaian.
Menurutnya, komik dan meme sering menggambarkan ekstrovert sebagai orang nan ribut dan menyebalkan, sedangkan introvert dianggap bermoral, suka memelihara kucing, dan merajut. Ia juga menekankan generasi ini menghadapi tingkat kesenyapan nan tinggi, sehingga tidak semestinya kesenyapan alias introversi ekstrem dirayakan.
2. Pandangan tentang Ketidakstabilan
Tabitha, seorang wanita dari Kanada, menyebut konsep "ketidakstabilan" sebagai diskriminasi terhadap orang nan memprioritaskan kesehatan mental dan fisik. Menurutnya, tidak setara menyebut seseorang "tidak stabil" hanya lantaran memilih menjaga diri daripada memaksakan diri menghadiri aktivitas nan tidak penting.
3. Bentuk Perawatan Diri
Seorang seniman berumur 43 tahun dari Melbourne mengakui tren "pengecutan" alias membatalkan rencana, nan menurutnya menjadi perihal nan lumrah dan apalagi terasa melegakan. Dia menambahkan, saat ini semakin sedikit orang nan mau keluar.
Biaya hidup nan tinggi, tanggung jawab nan menumpuk, kelelahan, dan kekhawatiran membikin banyak orang lebih memilih membatalkan acara. Kecuali aktivitas krusial seperti ulang tahun alias pernikahan nan bakal dihadiri. Baginya, membatalkan rencana di menit terakhir adalah corak perawatan diri.
4. Menghindari Janji sebagai “Sabotase Diri”
Beberapa responden menyebut kesulitan mereka memenuhi janji sebagai corak "sabotase diri," salah satunya Kevin, 39, peneliti Vancouver. Meskipun merasa defensif, Kevin mengakui menghindari rencana membantunya menghindari situasi nan memicu masalah dan bentrok pribadi. "Butuh waktu lama untuk menerima perihal ini tentang diri saya, tapi saya tidak suka membikin rencana dan nyaris selalu menyesalinya," kata Kevin.
5. Prilaku nan Tidak Dapat di Prediksi
Libby, 70, pensiunan ahli kesehatan dari Australia Barat, merasa cemas dengan perilaku nan tidak dapat diprediksi lantaran dapat merusak reputasi, persahabatan, dan hubungan sosial. Ia juga mengkritik pemikiran jangka pendek nan sekarang menjadi kebiasaan banyak orang.
Libby bercerita seorang personil family tidak datang di pernikahan family tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Ketika ditegur, personil family tersebut tidak meminta maaf dan malah memilih pergi berpiknik dengan teman-temannya. Libby merasa kehilangan rasa hormat terhadapnya.
Banyak orang nan mengeluhkan ketidakandalan kawan dan family mengungkapkan perihal itu berakibat besar pada nilai diri dan kepercayaan mereka terhadap orang lain. Bahkan berakhir mengatur pertemuan lantaran semakin banyak orang nan membatalkan alias mengubah rencana untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pribadi mereka.
Di sisi lain, banyak responden nan mengungkapkan mereka semakin sering membatalkan rencana. Alasan utama seperti kelelahan nan berkepanjangan, stres pekerjaan, masalah kesehatan mental, alias kekurangan uang. (The Guardian/Z-3)