MANAJER Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi menilai ada anomali dalam pengelolaan kebijakan fiskal Indonesia. Itu lantaran defisit anggaran nan kerap disebut terkendali besar kemungkinan ditopang oleh utang.
"Itu anomali, dan menegaskan pemerintah memang sedang mengalami problem sangat serius dalam pengelolaan fiskal. Pengelolaan fiskal tetap sangat berjuntai pada utang." ujarnya saat dihubungi, Kamis (26/12).
Posisi utang pemerintah hingga November 2024 tercatat sebesar Rp8.680,13 triliun. Nilai tersebut meningkat 1,40%, sekitar Rp119,77 triliun dari bulan sebelumnya nan tercatat Rp8.560,36 triliun. Jumlah tersebut, kata Badiul, baru menggambarkan besaran utang pokok, belum termasuk beban kembang nan mesti dibayar.
Kondisi tersebut membikin ruang fiskal negara menyempit. Padahal program-program prioritas pemerintah nan bakal dieksekusi memerlukan anggaran besar. Upaya ekstra diperlukan untuk memperbaiki kondisi APBN.
Namun itu tak serta merta pemerintah mengambil jalan pintas, alias jalan termudah untuk meningkatkan penerimaan negara. Optimalisasi perusahaan-perusahaan BUMN, misalnya, kata Badiul, merupakan salah satu langkah nan bisa ditempuh untuk mendongkrak pendapatan negara.
Ia juga menyoroti perihal pengaburan kebenaran nan dilakukan pemerintah. Sebab, acap kali kreator keputusan membandingkan kondisi utang dengan negara-negara nan mempunyai kapabilitas ekonominya jauh lebih baik dan maju dari Indonesia.
"Membandingkan Indonesia dengan negara nan secara ekonomi lebih baik, apalagi membandingkan dengan negara maju, itu sangat tidak relevan. Pemerintah justru lebih baik terbuka saja atas kondisi sesungguhnya pada masyarakat dan minta maaf kepada masyarakat," terang Badiul.
Perihal utang sebelumnya juga dikritisi oleh Ekonom Senior sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini. "Ini mencerminkan politik anggaran nan tidak sehat. Pemerintah terlalu doyan berutang, mengikuti teori ‘budget maximizer’ tanpa kontrol dan sistem checks and balances nan memadai," ungkap Didik.
Tingginya suku kembang obligasi utang Indonesia juga menjadi sorotan tajam. Tingkat kembang nan ditawarkan Indonesia di kisaran 7,2%, menjadi nan tertinggi di ASEAN.
Bunga tersebut jauh di atas Thailand (2,7%), Vietnam (2,8%), dan Malaysia (3,9%). “Ini jelas menguras pajak rakyat. Setiap tahun, kita kudu bayar kembang utang sebesar Rp441 triliun, hanya untuk memenuhi nafsu utang pemerintah,” ujar Didik.
Lebih jauh, Didik menyoroti alokasi shopping negara nan semakin tidak produktif. Porsi shopping nonproduktif seperti shopping pegawai dan peralatan meningkat dari 34% pada 2014 menjadi 36% di 2024, sementara shopping produktif terus menyusut.
"Dampaknya tidak hanya terasa sekarang, tetapi juga bakal membebani pemerintahan mendatang. Struktur anggaran kita semakin tidak sehat," terangnya. (Z-9)