Catatan Akhir Tahun: Badai Timur Tengah

Sedang Trending 2 minggu yang lalu
 Badai Timur Tengah (Dok. MI)

HINGGA memasuki bulan ke-14, belum ada tanda-tanda perang Israel melawan poros-poros perlawanan bakal segera berakhir. Sebagai presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump memang sempat menekan para pihak di Timur Tengah untuk segera mengakhiri perang nan ada (khususnya antara Israel dan Hamas) sebelum pelantikan presiden AS pada 20 Januari 2025. Perundingan sempat melangkah intensif, apalagi mencatat perkembangan-perkembangan positif. Namun, dalam perkembangan terbaru, perundingan kembali berakhir dengan klaim nan bertentangan antara pihak Israel dan pihak Hamas.

Di lapangan, korban jiwa akibat perang nan berkobar di Gaza sejak 7 Oktober 2023 terus bertambah hingga mencapai lebih dari 45 ribu orang. Jumlah itu bakal semakin bertambah banyak jika ditambah dengan korban-korban nan bertumbangan di front lain seperti di Libanon (Israel melawan Hizbullah), Suriah, Yaman, hingga Iran.

Sebagaimana dimaklumi, bumi terbelalak ketika Hamas secara mengejutkan sukses menyerang Israel pada 7 Oktober 2023. Serangan Hamas nan diberi nama Badai Al-Aqsa menimbulkan korban jiwa sekitar 1.200 orang dan sekitar 250 orang menjadi sandera.

Karena tak mau dipermalukan terlalu lama, Israel langsung melakukan serangan jawaban dengan langkah menyerang Gaza secara membabi buta. Tak ada tempat kondusif di Gaza. Hampir semua titik di Gaza tak luput dari serangan Israel nan tak jarang menggunakan senjata-senjata berat. Tempat ibadah, pengungsian, lembaga pendidikan, apalagi rumah sakit nan kudu dihormati dalam peperangan tak luput dari serangan Israel nan membabi buta.

Israel acap berdalih; penduduk sipil nan menjadi korban sengaja digunakan Hamas sebagai perisai. Pun demikian tempat-tempat terlindung nan sejatinya tidak boleh menjadi sasaran serangan, seperti tempat ibadah, lembaga pendidikan, dan rumah sakit. Padahal, ketua Hamas seperti Yahya Sinwar sekalipun tidak meninggal dalam keadaan berlindung di tempat-tempat mulia seperti tempat ibadah, tempat pengungsian, dan nan lainnya. Sinwar justru meninggal dalam keadaan berkompetisi dengan tentara Israel di salah satu gedung nan telah hancur lebur akibat serangan udara Israel.

Setelah memandang kebrutalan nan dilakukan Israel, tak mengherankan masyarakat bumi menuntut adanya penyelidikan nan independen di Gaza, khususnya mengenai dengan Israel melakukan genosida alias kejahatan perang lainnya.

Desakan adanya penyelidikan itu apalagi disuarakan Paus Fransiskus sebagai tokoh tertinggi Katolik di bumi (17/11). Bahkan, ICC sebagai mahkamah pidana internasional telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Netanyahu sebagai perdana menteri Israel dan Yoav Gallant sebagai mantan menteri pertahanan Israel (20/11).

Badai Al-Aqsa menyebar ke jalur-jalur poros perlawanan. Bahkan penyebaran Badai Al-Aqsa telah terjadi sejak 8 Oktober 2023, sehari setelah Badai Al-Aqsa dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023. Disebut demikian, lantaran per 8 Oktober 2023, Hizbullah nan selama ini dikenal sebagai macan perlawanan Timur Tengah telah melibatkan diri dalam perang melawan Israel dengan logika support (al-isnad) alias solidaritas terhadap perjuangan Hamas di Gaza. Sejak 8 Oktober 2023 lalu, tindakan balas-membalas serangan acap terjadi antara Hizbullah dan Israel.

Perang Hizbullah-Israel kali ini bisa dikatakan mengalami 'final dini', mengingat Israel dengan begitu mudah sukses menarget dan membunuh tokoh-tokoh Hizbullah. Mulai komandan senior seperti Fuad Shukr (1/8) hingga Hassan Nasrallah nan apalagi dibunuh di Markaz Hizbullah (27/11). Bahkan tokoh-tokoh lain nan sempat digadang-gadang bakal menjadi pengganti Nasrallah sebagai ketua Hizbullah (seperti Hashem Safieddine) sudah bisa dibunuh sebelum nan berkepentingan menempati posisinya secara resmi.

Dalam irit penulis, kondisi Hizbullah nan mengalami final awal tidak terlepas dari keberhasilan Israel menguasai sistem info milisi tersebut hingga Israel dengan mudah mendapatkan info-info jeli mengenai dengan tokoh krusial Hizbullah dan golongan perlawanan secara umum. Hizbullah tak ubahnya pegangan tombak bagi golongan perlawanan. Tanpa disadari, sejauh ini mata-mata Israel sukses menyusup dan menggerogoti dari dalam 'pegangan tombak' perlawanan itu. Akibatnya tombak perlawanan secara umum tidak bisa berfaedah sebagaimana diharapkan.

'Manuver menyamping' nan dilakukan Israel dengan turut serta (baik langsung alias tidak) dalam operasi penggulingan Bashar al-Assad di Suriah menambah pukulan telak bagi golongan perlawanan. Dengan runtuhnya Al-Assad, golongan perlawanan kehilangan jalur logistik alias bahan ekosistem perlawanan.

Hal nan kudu diperhatikan ke depan, krisis Suriah nan tetap menjadi tanda tanya bagi para pihak mengenai dengan pemerintahan Ahmad Syara’ sebagai pemimpin Hay’at Tahrir Syam (HTS) berpotensi menimbulkan tiga krisis lebih lanjutan. Krisis pertama adalah melebarnya api bentrok ke wilayah Turki, khususnya dengan keberadaan golongan oposisi dari kalangan Kurdi nan dalam beberapa hari terakhir kerap terlibat bentrok terbuka dengan golongan oposisi Suriah nan didukung Turki.

Krisis kedua adalah jika HTS nan sampai sekarang tetap dimasukkan golongan teroris dunia sukses menjalankan pemerintahan (apa pun bentuknya), perihal itu berpotensi menimbulkan angin segar bagi golongan teroris lain, paling tidak menjadi angin segar bagi golongan Islam politik di Timur Tengah nan acap dijadikan musuh oleh banyak rezim di Timur tengah. Persis di sinilah kemungkinan munculnya krisis ketiga, ialah munculnya Arab Spring jilid II sebagai aktivitas rakyat nan menuntut pemberlakuan kerakyatan di bumi Arab. Sejauh ini, potensi krisis ketiga jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan dua krisis pertama dan kedua nan pada tahap tertentu sudah mulai terjadi.

Bila perihal di atas betul-betul terjadi, krisis nan berasal dari Badai Al-Aqsa sekarang telah melebar dan menjelma sebagai Badai Timur Tengah. Tahun 2023 dan 2024 telah menjadi saksi gimana ganasnya Badai Al-Aqsa nan banget mungkin bakal berakhir dengan berakhirnya perang Israel-Hizbullah dan Israel-Hamas.

Namun, Badai Timur Tengah banget mungkin tetap bakal terus bergulir pada 2025 mendatang; dimulai dari pembangunan Suriah pasca-Al-Assad nan sepertinya tidak bakal melangkah dengan mudah, krisis Turki dengan golongan Kurdi, hingga kemungkinan bergairahnya kembali aktivitas Islam politik di bumi Arab dan Timur Tengah secara umum.