MANFAAT dari bergabungnya Indonesia sebagai anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) belum tampak dengan begitu jelas dan begitu menjanjikan. Sebaliknya, potensi kerugian nan didapat terbuka sangat lebar, terutama setelah Donald Trump kembali terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri saat dihubungi, Selasa (7/1). Menurutnya, BRICS semestinya menjadi golongan nan bermaksud memajukan agenda kelompoknya, namun sejauh ini belum terlihat agenda ekonomi nan mau didorong oleh golongan tersebut.
“Ada nan cukup baik seperti NDB (New Development Bank), tetapi permasalahannya cukup banyak, dari mulai kurangnya resources, sampai kurangnya support dari personil mereka sendiri,” kata Yose.
Diketahui pula, lanjutnya, negara personil nan ada di dalam BRICS sering kali tidak sepandang, alias tak mempunyai kecocokan seperti Tiongkok dan India. BRICS nan semestinya dapat mendongkrak tujuan ekonomi dari negara-negara anggotanya juga dinilai lebih condong pada urusan geopolitik.
“Berbagai agenda ekonomi juga dilandasi dari kemauan melebarkan pengaruh politik, dibandingkan dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan. Jadi dari sisi ekonomi, manfaatnya sangat terbatas,” tutur Yose.
Pun demikian dari sisi geopolitik nan disebut Yose tetap gamang. Apa nan dibawa oleh BRICS, lantaran beragamnya kepentingan dari tiap negara anggota, kerap tak menemui titik temu. Justru dalam beberapa kali kesempatan terjadi persinggungan antara personil nan satu dengan negara personil lainnya.
“Di BRICS, tiap personil berupaya menyetir agenda geopolitiknya. Pertanyaannya, apakah Indonesia tetap bisa memainkan peran geopolitik di BRICS? Jangan-jangan malah hanya terbawa dinamika nan counter productive,” kata Yose.
Dalam bagian diplomasi global, lanjutnya, BRICS juga kerap kali tampak menjadi perangkat dari kepentingan Tiongkok, Rusia, serta India di panggung dunia. Itu menurutnya berbanding terbalik dengan kondisi dan situasi nan ada di G-7.
Di lain sisi, situasi dunia nan berkembang saat ini perlu menjadi perhatian. Donald Trump nan kembali terpilih sebagai Presiden AS dinlai tak bakal segan memberlakukan indiscrinate sanction (sanksi nan tak pandang bulu) untuk negara-negara personil BRICS. Itu lantaran BRICS dinilai mengganggu hegemoni Negeri Paman Sam di level dunia.
“Meskipun ini tetap wacana, kemungkinannya tidak kecil. Apakah kita siap untuk merespons perihal tersebut? Padahal kita tidak perlu terlibat dalan persoalan rivalitas ini, mengingat bahwa posisi kita tetap bebas dan aktif. Jadi di sini, faedah nan bisa didapatkan tetap belum terlihat, tetapi potensi kerugiannya cukup signifikan,” kata Yose.
Semestinya Indonesia tetap lebih dulu konsentrasi pada proses aksesi Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) nan dinilai menjanjikan akibat baik. Pasalnya, untuk berasosiasi menjadi personil OECD, Indonesia didorong untuk melakukan reformasi struktural nan notabene banget diperlukan.
Selain itu, terdapat sejumlah langkah lain nan dapat ditempuh jika tujuan Indonesia adalah memperkuat peranan negara selatan daripada mengikuti golongan nan didominasi oleh negara nan mau memperkuat kedudukannya di panggung dunia.
“Indonesia juga berinisiatif membentuk MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia) nan bisa menjadi middle power jika digunakan dengan baik, baik itu untuk kepentingan Indonesia ataupun untuk kontribusi dalam persoalan global,” pungkas Yose. (J-3)