Alih Fungsi Lahan Menjadi Sawit Picu Emisi Gas Rumah Kaca

Sedang Trending 3 hari yang lalu
Alih Fungsi Lahan Menjadi Sawit Picu Emisi Gas Rumah Kaca Perkebunan sawit.(MI/Denny Susanto)

WACANA pemerintah untuk memperluas perkebunan kelapa sawit skala besar mendapat sorotan beragam pihak. Sawit Watch dengan tegas menilai alih kegunaan rimba dan lahan menjadi sawit tidak hanya menyebabkan deforestasi melainkan juga memicu emisi karbon alias gas rumah kaca.

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, Sabtu (11/1) mengatakan, sawit sebagai tanaman tentu mempunyai keahlian dalam menangkap karbon. Namun apakah tanaman sawit bisa menggantikan peran rimba alam dalam menyerap karbon?. Apakah alih kegunaan rimba menjadi perkebunan sawit dapat menggantikan peran rimba alam dalam menyerap karbon?, alias justru pembukaan lahan menjadi sawit berkontribusi atas terjadinya emisi karbon?.

Hal ini untuk menjawab wacana kontroversial nan dilontarkan Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lampau mengenai dengan lingkungan khususnya sawit dan deforestasi. Dari pernyataan tersebut mengisyaratkan dua hal, ialah ekspansi sawit tanpa takut bakal deforestasi. Serta, bahwa sawit secara harfiah sebagai tanaman juga bisa menyerap karbon sama seperti hutan.

Setali tiga uang, setelahnya Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni menyebut ada 20 juta hektare lahan nan dapat digunakan sebagai lahan persediaan untuk memproduksi pangan dan energi. Hal tersebut berujung pada memperlebar kesempatan ekspansi sawit terjadi dalam beberapa waktu ke depan.

Rambo, panggilan berkawan Direktur Eksekutif Sawit Watch, menegaskan alih kegunaan lahan menjadi sawit dapat menyebabkan emisi GRK terjadi. Kondisinya bakal berbeda bagi setiap karakter lahannya, jika terjadi pada lahan nan merupakan padang rumput, rimba di tanah mineral serta  rimba di lahan gambut.

Data menunjukkan hasil maksimal emisi nan dihasilkan sawit dalam menggantikan rimba di lahan padang rumput sebesar -59 ton CO2-eq dan nilai minimum sebesar -115 ton CO2-eq. Hasil maksimal emisi nan dihasilkan sawit menggantikan rimba di lahan padang rumput sebesar -59 ton CO2-eq dan nilai minimum sebesar -115 ton CO2-eq.  

Kemudian hasil maksimal emisi nan dihasilkan sawit menggantikan rimba di lahan mineral sebesar 835 ton CO2-eq dan nilai minimal sebesar 175 ton CO2-eq. Sedangkan hasil maksimal sawit dalam menggantikan rimba di lahan gambut sebesar 1835 ton CO2-eq dan nilai minimal sebesar 1175 ton C02-eq.  

“Data ini menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan antara emisi dengan simpanan karbon, alias telah terjadi tekor artinya nan keluar emisi CO2 dibandingkan nan diserap. Simpanan tersebut tidak sebanding dengan emisi nan dihasilkan dari alihfungsi lahan, terutama pada rimba di tanah mineral dan gambut. Alih kegunaan lahan gambut mempunyai akibat terburuk, dengan emisi karbon nan sangat tinggi hingga 1.835 ton CO2-eq. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tanaman sawit mempunyai potensi dalam penyerapan karbon, kontribusi ini tidak cukup untuk menutupi emisi nan dihasilkan, khususnya dari alih kegunaan lahan,” jelas Surambo

Lahan gambut menjadi contoh nan paling rentan, konversi tersebut menghasilkan emisi nan tinggi.  Semua info ini memperjelas posisi dimana sebaiknya tanaman sawit tidak ditanam di lahan gambut untuk mendukung pengamanan bumi dan memprioritaskan kelestarian lingkungan.

"Ambisi ekspansi sawit dengan mengabaikan deforestasi adalah salah besar. Kemampuan sawit dalam menyerap karbon tak sebanding dengan emisi karbon nan dihasilkan ketika alihfungsi terjadi. Upaya memperluas sawit alias ekstensifikasi hanya bakal berakibat pada deforestasi lebih besar dan resiko nan lebih tinggi. Bahkan bakal berkontribusi pada perubahan suasana dunia," kata Rambo.

Hasil riset terbaru kami, keahlian lingkungan mendukung dan menampung pengembangan industri sawit (daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, D3TLH) di Indonesia hanya pada 18,15 juta hektare, dan sawit telah mendekati nomor itu. Sudah saatnya pemerintah lebih bijak dalam mengambil keputusan. (N-2)'